Logo Bloomberg Technoz

Angkanya kemudian menurun pada periode 2014-2019 dengan besar penyerapan hanya 7,78 juta pekerja saja. Yang terburuk, pada 2019-2024, penyerapannya semakin ambles, hanya 2,77 juta alias tak sampai 3 juta lapangan kerja formal baru tercipta. Dengan kata lain, dalam 10 tahun terakhir, lebih khusus lima tahun ini, orang Indonesia semakin sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal.

Sektor formal mengacu definisi BPS mencakup pegawai atau karyawan. Juga pekerja mandiri yang memiliki buruh dengan upah tetap, biasa disebut sebagai kalangan pengusaha. Di luar definisi itu, maka seorang pekerja termasuk bekerja di sektor informal. Sampai Februari lalu, berdasarkan data Sakernas, hanya sebesar 58,05 juta orang Indonesia yang bekerja di sektor formal.

Pandemi memang memperburuk penyediaan lapangan kerja sektor formal. Namun, bila melihat data tersedia, sejatinya tren penurunan ketersediaan lapangan kerja sektor formal sudah berlangsung sejak sebelum pandemi merebak.

Itu yang terlihat dari penurunan ketersediaan lapangan kerja pada periode pertama pemerintahan Jokowi, apabila dibandingkan dengan era terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada era terakhir pemerintahan SBY, terjadi penambahan lapangan kerja sebanyak 15,62 juta pekerjaan. Angkanya turun tinggal penambahan sebesar 7,88 juta pada periode pemerintahan selanjutnya.  

Proporsi pekerja sektor formal dan informal di Indonesia 2014-2024 (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Sektor informal di Indonesia juga masih sangat mendominasi lapangan kerja, dengan persentase mencapai 59,17% per Februari 2024. Proporsi sektor informal yang lebih besar ketimbang formal mengindikasikan pekerjaan yang layak dengan tingkat pendapatan yang memadai, masih langka di Indonesia.

Kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor formal ditengarai telah memaksa banyak masyarakat beralih mencari pendapatan di sektor gig economy seperti menjadi ojek online, kurir, dan lain sebagainya, yang rentan tereksploitasi dalam model kemitraan semu.

Pada saat yang sama, makin bertambah pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Tanah Air, memperlihatkan banyak golongan masyarakat yang mencoba membuka usaha sendiri dengan modal kecil sekadar agar tetap bisa mendapatkan pendapatan. Lebih-lebih ketika tsunami PHK menggulung akibat pandemi, belum tergantikan oleh ketersediaan lapangan kerja yang luas pada tahun-tahun sesudahnya.

Sektor usaha mikro dan kecil makin menjamur mulai dari menjadi penjual barang dari supplier (reseller) barang di marketplace, membuka warung kelontong di perkampungan, jasa cuci baju dan lain sebagainya. 

Data Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2021 mencatat, dari sebanyak 64,2 juta pelaku UMKM, sebanyak 63,95 juta termasuk kategori usaha Mikro setara 99,62%. Sementara usaha Kecil sebanyak 193.959 unit (0,3%), lalu usaha Menengah 44.728 unit (0,07%) dan usaha Besar sebanyak 5.550 unit (0,01%).

"Negara-negara dengan pendapatan tinggi cenderung memiliki tingkat selfemployment yang lebih rendah, karena lebih banyak pekerja yang dapat bekerja sebagai pegawai di lapangan usaha formal," tulis riset SMERU Research Institute yang dipubliksikan pada Juni 2023

Banyaknya jumlah UMKM, terutama yang mikro dan ultra mikro di sebuah negara bisa dibaca sebagai salah satu pertanda bahwa kondisi lapangan kerja di negara tersebut kurang berkualitas dan tidak memadai menyerap kebutuhan masyarakat atas pekerjaan yang lebih layak.

Karyawan menyangrai biji kopi di salah satu tempat penjualan kopi di Jakarta, Selasa (16/7/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Hal itu bila dibiarkan akan berdampak luas pada pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, pekerjaan di sektor informal identik dengan pendapatan yang rendah, ketiadaan tunjangan dan jenjang karir yang tidak jelas.

Pendapatan yang belum memadai berimbas pada kinerja konsumsi masyarakat dan prospek penerimaan pajak negara mengingat pajak, sebagai sumber penerimaan negara, banyak disumbang oleh pendapatan dan konsumsi rakyat.

Di sisi lain, penggeberan investasi dengan merilis beleid seperti Undang Undang Cipta Kerja alias Omnibus Law yang dinilai banyak merugikan kaum buruh, sejauh ini tidak terlihat ampuh menciptakan lapangan kerja baru secara signifikan. Itu karena investasi yang masuk ke Indonesia ternyata lebih banyak berkutat di sektor padat modal, alih-alih padat karya.

Kementerian Investasi/BKPM dalam taklimat media kemarin membeberkan, terdapat lima sektor yang membukukan realisasi investasi terbesar baik PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri). Lima sektor itu antara lain, sektor industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatan. Lalu, sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi. Kemudian, sektor pertambangan dan sektor perumahan, kawasan, industri dan perkantoran. Terakhir adalah sektor jasa lainnya.

Ilustrasi buruh pabrik. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Bila melihat sektor realisasi investasi di atas, sejatinya bukan termasuk sektor-sektor usaha padat karya. Mengacu data BPS terakhir, tiga lapangan usaha penyerap tenaga kerja terbanyak di Indonesia sejauh ini adalah lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (28,64%), lalu lapangan usaha Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor (19,05%), serta Industri Pengolahan (13,28%).

Realisasi investasi memang membukukan pertumbuhan yang baik, sebesar 22,3% selama semester 1-2024. Nominal investasi masuk mencapai Rp829,9 triliun terdiri atas Rp421,7 triliun penanaman modal asing dan Rp408,2 berupa modal domestik.

Pemerintah menyatakan, investasi yang tumbuh sepanjang enam bulan terakhir telah berhasil melahirkan 1,23 juta lapangan kerja baru, mencerminkan kenaikan 44,3% dibanding semester 1-2023. Lapangan kerja baru itu terdiri atas 547.419 lapangan kerja baru pada kuartal satu dan sebanyak 677.623 pada kuartal dua.

Penanaman modal domestik masih menjadi pencipta tenaga kerja utama di enam bulan tahun ini, dengan melahirkan 738.202 lapangan kerja baru. Sementara investasi asing menciptakan lapangan kerja baru sebesar 486.840 pekerjaan selama Januari-Juni 2024. 

Penjualan ritel terseret

Lapangan kerja yang sempit ditambah gelombang PHK yang makin besar ketika nilai pesangon menyusut akibat regulasi UU Cipta Kerja, diperkirakan telah menahan animo masyarakat dalam berbelanja.

Ditambah lagi aktivitas manufaktur yang suram membuat ancaman PHK makin meningkat. Para pekerja di Indonesia disinyalir semakin berhati-hati memutuskan belanja alias cenderung berhemat, mengantisipasi risiko penurunan pendapatan di depan. 

Dampak situasi itu sudah terlihat pada kinerja penjualan ritel. Indeks Penjualan Riil pada Mei lalu tercatat naik 2,1% year-on-year, setelah pada April terkontraksi -2,7%. Angka pertumbuhan tahunan penjualan riil itu lebih kecil dibanding prediksi sebelumnya sebesar 4,7%.

Sementara secara bulanan, penjualan ritel pada Mei turun 3,5% month-to-month setelah bulan sebelumnya hanya naik 0,4% pada bulan Lebaran. Penurunan penjualan ritel pada Mei tidak mengejutkan mengingat puncak belanja masyarakat pada Lebaran sudah berakhir. Namun, perlu dicermati angka penurunan bulanan tersebut ternyata lebih dalam ketimbang prediksi awal yang memperkirakan hanya kontraksi 1%.

Situasi ketenagakerjaan yang suram juga terpotret dalam survei konsumen terakhir. Indeks Keyakinan Konsumen Juni terperosok turun dua bulan berturut-turut ke level terendah sejak Maret terutama karena kemerosotan kondisi ekonomi masyarakat saat ini yang menilai situasi mereka lebih buruk dibanding enam bulan lalu. 

Kondisi ekonomi yang dinilai lebih buruk saat ini terutama karena kondisi lapangan kerja yang sempit dan diprediksi masih akan berlanjut sehingga menyeret nilai penghasilan dan kegiatan usaha.

Tingkat ekspektasi masyarakat terhadap perbaikan ekonomi ke depan juga terpuruk, tecermin dari Indeks Ekspektasi Konsumen yang turun 1,2 poin. Dengan bahasa lain, kondisi ekonomi enam bulan ke depan dinilai akan lebih buruk dibanding saat ini, yang sebenarnya juga sudah memburuk.

(rui)

No more pages