Direktur Keuangan PTPP Agus Purbianto kepada Bloomberg Technoz tak memungkiri sengkarut keuangan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) memberikan imbas sektoral. "Sektor konstruksi jadi persoalan akibat banyak investor yang tidak tertarik berinvestasi di obligasi sektor konstruksi," ungkap Agus.
Di sisi lain, investor cenderung menyukai penerbitan obligasi yang dananya dialokasikan untuk ekspansi, ketimbang pembiayaan kembali atau refinancing. Semakin tidak menarik, ketika obligasi yang diterbitkan berasal dari sektor konstruksi.
"Secara umum, leverage sektor konstruksi dipandang pasar sudah tinggi. [Obligasi] untuk ekspansi akan menarik buat investor. Kalau refinancing, itu yang membuat investor tidak tertarik," terang Agus.
Lebih Berhati-hati
Obligasi untuk ekspansi cenderung menarik. Namun, ini tak serta-merta membuat emiten BUMN Karya mengeksekusi penerbitan emisi tersebut.
Kondisi itu tercermin dari PT Adhi Karya Tbk (ADHI). Perseroan lebih berhati-hati dengan memilih pendanaan bersifat ekuitas sebagai sumber dana ekspansi, meski tak sepenuhnya menutup pintu untuk sumber pendanaan bersifat utang.
Manajemen ADHI dalam laporan tahunan 2022 memberi isyarat penyertaan modal negara (PMN) masih menjadi andalan untuk pembiayaan ke depan. "ADHI berencana menambah ekuitas hingga 2027 dengan mengajukan tambahan PMN," tulis manajemen.
Dana tersebut akan digunakan untuk penyelesaian proyek strategis nasional (PSN) dan proyek pemerintah lainnya. Bahkan, ADHI juga akan mengandalkan PMN sebagai salah satu komponen sumber dana proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
Rencana permohonan PMN tersebut merupakan serangkaian setoran modal negara yang juga sebelumnya telah diperoleh ADHI. Tahun lalu, ADHI menerima PMN Rp 1,98 triliun serta penerbitan saham publik senilai Rp 689,7 miliar.
Pasar Obligasi Semarak
Masa penawaran obligasi dan sukuk PTPP, yang sebelumnya dikabarkan tidak mencapai target, berlangsung di pekan terakhir Maret. Pada pekan ini, situasi pasar obligasi domestik justru impresif akibat derasnya dana asing yang masuk.
Pemodal asing sebelumnya memang mencemaskan imbas goyahnya sektor perbankan di negara maju. Namun, situasi ini justru mendorong mereka melarikan uangnya ke pasar keuangan domestik, termasuk ke pasar obligasi rupiah.
Pamor obligasi rupiah yang meningkat salah satunya terindikasi dari terus turunnya yield atau tingkat imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) di kisaran 6,75% (tenor 10 tahun), setelah sempat melesat ke level tertinggi 7,05% pada awal Maret lalu.
Obligasi negara tenor pendek 2 tahun juga mencatat penurunan yield, masing-masing ke posisi 6,24%, jauh dari posisi tertinggi 6,6% pada 10 Maret lalu.
Bukan hanya obligasi negara saja yang banyak diburu. Obligasi korporasi berdenominasi rupiah juga tengah banyak jadi incaran pemodal global. Tingkat imbal hasil obligasi korporasi Indonesia jatuh ke level terendah dalam satu bulan terakhir, seiring sinyal Bank Indonesia (BI) akan terus mempertahankan bunga acuan di level yang sama dalam waktu lebih lama, menyusul jinaknya inflasi.
Penurunan yield tersebut mengindikasikan tengah terjadi kenaikan permintaan obligasi korporasi domestik, yang mengerek harga dan menekan tingkat imbal hasil. Adapun yield untuk obligasi rupiah terbitan korporasi bertenor tiga tahun juga meluncur turun di level terendah sebulan terakhir, pada posisi 6,93%.
Pamor obligasi rupiah yang mengungguli obligasi berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS), tercermin dari akumulasi penerbitan emisi tersebut.
Sejak awal tahun hingga 10 April kemarin, penerbitan obligasi berdenominasi dolar AS baru mencapai US$ 306 juta atau setara sekitar Rp 4,59 triliun. Nilai ini menjadi yang terendah sejak 2016.
(tar/wep)