Lebih lanjut, Bahlil juga mengaku lupa apakah telah berkoordinasi dengan Kemenkeu atas dampak dari penerapan cukai plastik terhadap investasi. Pasalnya, sangat banyak hal-hal yang dikoordinasikan pihaknya kepada Kemenkeu.
Namun, Bahlil berpandangan bahwa seharusnya Kemenkeu bersama Kementerian teknis perlu berdiskusi bersama-sama untuk membahas kendala dalam menjalankan kewenangan di masing-masing Kementerian.
“Memang ke depan idealnya, Menteri teknis dan Kemenkeu harus duduk bareng untuk membicarakan tentang kendala-kendala khususnya di kewenangan masing-masing Kementerian,” pungkas Bahlil.
Seperti diketahui, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) sebagai Subholding Refining & Petrochemical PT Pertamina (Persero) pada awalnya direncanakan bakal bekerja sama dengan perusahaan asal Rusia, Rosneft Singapore Pte Ltd dalam proyek Kilang Tuban.
Namun, hingga kini Rosneft tidak kunjung memberi kepastian lantaran adanya sanksi dari negara-negara Barat imbas invasi Negeri Beruang Merah itu terhadap Ukraina sejak awal 2022; yang menyasar pada akses pendanaan, teknologi hingga jasa konstruksi kilang.
Adapun, dalam Perpres Nomor 76 Tahun 2023 tentang rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2024 termaktub pendapatan cukai produk plastik dipatok senilai Rp1,85 triliun.
Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Askolani mengungkap jika penerapan cukai plastik dan minuman berpemanis tidak dapat dilaksanakan pada tahun ini, maka kebijakan tersebut akan disiapkan untuk tahun 2025.
“Target kan bisa kami sesuaikan kebijakan, kan kami kebijakan harus lihat kondisi di lapangan,” kata Askolani saat ditemui awak media di kompleks DPR RI, Senin (10/6/2024).
Askolani menyampaikan hal tersebut merupakan antisipasi yang dilakukan pihaknya apabila kebijakan tersebut tidak dapat dieksekusi pada tahun ini.
“Disiapkan untuk 2025, kalau sampai 2024 gak bisa jalan. Kami antisipasi lah. Tergantung pemerintah, kan kami harus ikutin posisi lintas Kementerian/Lembaga (K/L),” pungkasnya.
(azr/roy)