“Emas berada di posisi yang tepat untuk reli,” menurut Gregory Shearer, analis di JPMorgan Chase & Co. Ketegangan geopolitik, defisit AS yang terus meningkat, diversifikasi bank sentral, dan lindung nilai inflasi telah mendorong harga emas lebih tinggi, “faktor-faktor ini kemungkinan akan bertahan terlepas dari hasil pemilu tetapi dapat semakin diperbesar di bawah skenario Trump 2.0 atau skenario 'gelombang merah',” tulisnya pada 24 Juli.
Sejumlah responden survei MLIV Pulse tampaknya setuju: “Yang saya lihat hanyalah gangguan parah pada pasar dan perdagangan, serta peningkatan cepat dalam utang nasional AS", kata salah satu dari mereka.
Keuntungan emas selama masa kepresidenan Trump sebagian didorong oleh investor yang mencari instrumen investasi aman saat pandemi Covid-19 melanda dan suku bunga federal turun mendekati nol. Emas — yang tidak membayar bunga — mencapai rekor tertinggi saat itu pada Agustus 2020 di tengah lockdown secara global.
Bahkan itu bukan lonjakan terbesar di bawah seorang presiden yang kita lihat dalam lima puluh tahun terakhir — return di bawah George W. Bush dan Jimmy Carter jauh lebih besar.
Kali ini, latar belakang makro ekonomi kembali menguntungkan emas. The Fed diperkirakan akan mulai menurunkan suku bunga pada bulan September. Bank sentral telah membeli emas secara agresif sejak 2022 dalam upaya untuk mendiversifikasi diri dari dolar.
Dua pertiga dari responden survei memperkirakan terpilihnya kembali Trump akan merusak status dolar sebagai mata uang cadangan dunia.
Kathryn Rooney Vera, kepala strategi pasar di StoneX Group, mengatakan masa jabatan kedua Trump dapat memperburuk pergeseran dari dolar karena sektor swasta bergabung dengan bank sentral dalam rotasi tersebut.
“Portofolio klien menambahkan kepemilikan emas. Ada banyak ekspektasi akan dolar yang lebih lemah,” katanya. “Faktor teknis, struktural, dan fundamental semuanya mendukung emas.”
Namun, spekulasi bahwa dolar akan melemah di bawah Trump adalah pandangan yang kontroversial karena para ekonom terkemuka di Wall Street melihat masa jabatan kedua Trump justru memperkuat, bukan melemahkan, mata uang tersebut. Kecenderungannya untuk mengenakan tarif yang lebih ketat pada mitra dagang AS dan kebijakan fiskal yang meningkatkan defisit dapat mengganggu pemotongan suku bunga yang diantisipasi dari The Fed, kata mereka.
Responden MLIV Pulse terpecah mengenai dampak kebijakan ekonomi Trump terhadap dolar. Salah satu responden melihat dolar yang lebih lemah bagaimana pun hasil pemilu: “Defisit tinggi yang berkelanjutan dan suku bunga yang lebih rendah akan mendorong dedolarisasi lebih lanjut dan memulai krisis utang negara. Akan sama saja jika Kamala Harris menang.”
Dolar dan Treasury AS sering dipandang sebagai tempat berlindung global selama masa-masa tekanan geopolitik. Namun, tanggapan survei menunjukkan bahwa dolar mungkin tidak mendapat manfaat dari volatilitas politik dalam negeri.
“Ketika AS menciptakan premi risiko sendiri karena pemilu yang berpotensi tidak teratur, implikasi fiskal dari kepresidenan Trump, itu membuat dolar pada 2025 menjadi risiko,” kata Kathleen Brooks, direktur penelitian di XTB.
Survei MLIV Pulse dilakukan dari 22 Juli hingga 26 Juli di antara pembaca terminal dan online Bloomberg News di seluruh dunia yang memilih untuk berpartisipasi dalam survei tersebut, dan mencakup manajer portofolio, ekonom, dan investor ritel.
(bbn)