Kedua, faktor model EV. Menurut Fabby, masyarakat Indonesia cenderung memilih mobil yang bisa mengangkut penumpang dalam jumlah besar, seperti tipe mobil multi-purpose vehicle (MPV).
Adapun, BYD baru-baru ini juga resmi meluncurkan MPV listrik pertama di Indonesia, yakni M6, yang dibanderol mulai Rp379 juta.
Ketiga, ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU), khususnya untuk perjalanan antarkota.
Untuk diketahui, penjualan mobil listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV) secara nasional pada semester I-2024 menunjukkan adanya peningkatan secara pesat dibandingkan dengan tahun lalu.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik secara wholesales atau dari pabrikan ke dealer di Tanah Air pada Januari—Juni 2024 mencapai 11.940 unit, meroket lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan rentang yang sama tahun lalu.
Khusus periode Juni 2024, penjualan mobil listrik mencapai 2.211 unit, naik 11,5% secara bulanan atau month to month (mtm) dan 83,48% secara tahunan atau year on year (yoy).
Berbeda dari AS
Berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat (AS), Fabby menggarisbawahi, faktor ini tidak lagi menjadi faktor pertimbangan yang dominan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi karena masyarakat tidak terlalu bergantung pada kendaraan pribadi untuk melakukan perjalanan antarkota.
Selain itu, masyarakat Indonesia juga memiliki fleksibilitas karena bisa melakukan pengisian daya di dalam rumah melalui fasilitas home charging serta SPKLU yang sudah banyak tersedia.
Berdasarkan data dari PT PLN (Persero), tercatat sudah ada 1.582 SPKLU, 2.200 stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU), 9.956 stasiun pengisian listrik umum (SPLU) dan 14.524 home charging yang siap digunakan untuk pengisian daya EV hingga semester I-2024.
PLN bersama mitra menargetkan akan menambah 3.000 SPKLU pada 2024, yang terdiri dari 1.000 SPKLU nontiang (ground mounted) dan 2.000 SPKLU tiang.
“Namun, memang tetap ada pertimbangan-pertimbangan misalnya ketersediaan charging infrastructure untuk yang tadi perjalanan jauh,” ujarnya.
Di lain sisi, masyarakat di negara-negara Barat seperti AS sangat mementingkan infrastruktur fasilitas pengisian listrik.
Adapun, pengguna mobil di Negeri Paman Sam itu memiliki kebiasaan untuk melakukan perjalanan dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya menggunakan mobil. Dengan demikian, keberadaan SPKLU menjadi sangat penting.
“Sementara kalau saya lihat di AS, charging infrastructure itu disediakan oleh produsen mobil. Misalnya Tesla dia bangun jaringan charger. Terus perusahaan mobil lain juga, ada yang memang bisa dipakai oleh multibrand, tetapi terbatas,” ujarnya.
Mengutip riset McKinsey & Company berjudul McKinsey Mobility Consumer Pulse edisi Juni 2024, sebanyak 29% pemilik mobil listrik mempertimbangkan untuk kembali ke mobil BBM tradisional.
Sebagai informasi, survei McKinsey melibatkan lebih dari 3.000 responden di 15 negara. Survei ini mencakup lebih dari 80% penjualan mobil dunia.
Negara dengan responden terbanyak yang menjawab ingin kembali ke mobil BBM adalah Australia dengan 49%, disusul Amerika Serikat AS (46%), dan Brasil (38%).
Alasan tertinggi bagi mereka yang ingin kembali ke mobil BBM adalah fasilitas pengisian listrik yang belum memadai (35%). Lainnya adalah biaya perawatan yang mahal (34%) dan kesulitan berkendara dalam jarak jauh (32%).
(dov/wdh)