DBH SDA Minerba tersebut ditransfer ke daerah sebagai sumber pendapatan dalam APBD Provinsi, APBD Kabupaten dan Anggaran Dana Desa di tingkat desa, yang dapat digunakan untuk membiayai belanja pembangunan dan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan dan lain-lainnya, termasuk membiayai pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan.
Dalam kurun 2016—2020, rerata realisasi DBH yang ditransfer ke daerah berjumlah Rp94,06 triliun, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,2%, pertumbuhan ini menurun pada realisasi 2020 akibat pandemi Covid-19.
Selain itu, Agus menggarisbawahi penggunaan digitalisasi melalui Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara (Simbara) juga merupakan salah satu cara untuk menjaga akuntabilitas atas kewajiban pemegang izin usaha produksi (IUP) serta penerimaan penambang sesuai dengan hasil produksi.
Laporan Jatam
Pada perkembangan lain, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) melaporkan bahwa kemiskinan juga terjadi di wilayah sekitar kawasan industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), yakni di Maluku Utara.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Maluku Utara sebesar 6,46% pada Maret 2023, naik 0,09% poin terhadap September 2022 dan naik 0,23% poin terhadap Maret 2022.
Daerah operasi pertambangan dan hilirisasi nikel, menurut Jatam, juga memiliki angka kedalaman kemiskinan yang relatif lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya.
“Itu terjadi karena basis produksi warga, ruang produksi warga soal lahan, pangan, air, itu sudah diambilalih, sudah dialihfungsikan. Produktivitas yang menurun terjadi karena adanya pencemaran. Akhirnya ini berdampak pada daya beli warga,” ujar Koordinator Jatam Melky Nahar dalam konferensi pers, dikutip Kamis (25/7/2024).
Mengutip laporan Jatam bertajuk IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi, Halmahera Tengah memiliki indeks kedalaman kemiskinan di Halmahera Tengah berada sebesar 1,8 poin pada 2023 atau meningkat dari 1,36 poin pada 2022 berdasarkan data BPS.
Dilansir melalui situs resmi IWIP, nilai investasi yang telah direalisasikan adalah sebesar US$11 miliar, menyerap tenaga kerja lebih dari 36.000 dan penyaluran dana corporate social responsibility (CSR) sebesar Rp32 miliar pada 2019–2021.
Namun, dua provinsi di mana kegiatan hilirisasi nikel, di mana banyak smelter milik investor asing maupun lokal yang dibangun untuk menambang nikel, yaitu Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, mencetak pertumbuhan ekonomi tinggi pada 2023, menurut data BPS.
Sulawesi Tengah, provinsi seluas 61.841 kilometer persegi dan dihuni oleh sekitar 3,14 juta jiwa orang, mencetak pertumbuhan ekonomi hingga 11,91% tahun lalu, menjadi yang tertinggi untuk wilayah Pulau Sulawesi.
Sementara di wilayah Kepulauan Maluku dan Papua, muncul provinsi Maluku Utara yang mencetak pertumbuhan ekonomi tinggi hingga 20,49% pada 2023.
Di provinsi yang baru lahir pada 1999 itu dan dihuni oleh sekitar 1,31 juta jiwa itu, juga berdiri banyak usaha tambang nikel.
Di antaranya adalah tambang milik PT Weda Bay Nickel, perusahaan yang dimiliki oleh Thingshan Group dengan 51,2% saham, Eramet -perusahaan asal Prancis dengan 37,8% saham, dan sisa saham dimiliki BUMN PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Ada juga tambang nikel di Kawasi, provinsi yang sama, dikelola oleh PT Trimegah Bangun Persada, sebuah afiliasi Harita Group.
“Industri yang memang cukup besar di kedua provinsi tersebut adalah berasal dari industri olahan barang tambang terutama feronikel. Jadi, jika ditarik kesimpulan, industrialisasi atau program hilirisasi nikel memang memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di sana,” kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar Widyastuti di Jakarta, awal Februari.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menilai wilayah pertambangan tanpa izin (PETI) menjadi salah satu alasan terjadinya anomali kemiskinan di wilayah dengan kekayaan cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia, yaitu Sumatra Selatan.
Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis M.Idris. F. Sihite mengatakan Sumatra Selatan memiliki kekayaan cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia sebanyak 9,3 miliar ton dengan produksi batu bara 2023 sebanyak 104,68 juta ton, serta menghasilkan penerimaan negara senilai Rp9,898 triliun, dengan iuran tetap sebesar Rp66,4 miliar dan royalti sejumlah Rp9,832 triliun.
Namun, hal tersebut tidak mampu mengurangi tingkat kemiskinan di provinsi ini. Berdasarkan data BPS, persentase penduduk miskin di Sumatra Selatan pada Maret 2024 sebesar 10,97%, menurun 0,81% poin terhadap Maret 2023.
Anomali ini, kata Idris, salah satunya terjadi karena adanya PETI yang mencari keuntungan sesaat tanpa menghiraukan kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan bertanggung jawab. Apalagi, Sumatra Selatan merupakan provinsi dengan PETI terbanyak di Indonesia.
"Sumatra Selatan merupakan salah satu lokasi PETI terbanyak di Indonesia. PETI merupakan tindak pidana pertambangan subsektor minerba dengan delik khusus [lex spesialis] di luar KUHP yang memuat sanksi pidana dengan beb [Pasal 158 s/d Pasal 164 UU No 3 Th 2020]," ujar Idris dalam siaran pers, dikutip Rabu (24/7/2024).
(dov/wdh)