Vale tidak menampik saat ini terdapat tantangan dalam adopsi kendaraan listrik —salah satunya berupa infrastruktur — yang disampaikan dalam riset tersebut. Namun, hal itu bukan berarti adopsi EV tidak akan terjadi.
“Hanya mungkin perlu waktu yang lebih lama dari yang diproyeksikan sebelumnya. Bagaimanapun, EV adalah bagian dari solusi untuk mengatasi perubahan iklim. Tanpa adopsi EV, maka akan sulit kita mencapai target yang telah disepakati,” ujarnya.
Proyek HPAL
Lebih lanjut, Bernardus mengatakan proyek pabrik pemurnian atau smelter berbasis high pressure acid leaching (HPAL) milik Vale di Pomalaa dan Sorowako dirancang untuk memenuhi kebutuhan nikel berkualitas tinggi yang diperlukan untuk baterai EV.
Meskipun terdapat tantangan yang diidentifikasi dalam penelitian McKinsey & Company, Bernardus menyebut, Vale yakin permintaan global untuk nikel berkualitas tinggi akan terus meningkat seiring dengan upaya dunia untuk mengurangi emisi karbon dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih.
“Kami akan terus bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan infrastruktur dan teknologi yang mendukung EV dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan pasar,” ujarnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam sebuah rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI mengatakan tambang nikel di Sorowako akan beroperasi pada 2027, sementara smelter HPAL dalam proses penyusunan kesepakatan kerja sama definitif dengan Huayou. Nilai investasinya mencapai US$2 miliar.
Pabrik itu bakal menghasilkan MHP yang menjadi bahan baku untuk baterai kendaraan listrik. Selain itu, fasilitas pengolahan tersebut ditargetkan sanggup memproduksi 60.000 ton nikel dan 5.000 ton kobalt per tahun dalam bentuk MHP.
Sementara itu, tambang nikel di Pomalaa akan beroperasi pada 2026, di mana terkait dengan smelter HPAL telah penandataganan definitive agreement. Nilai investasi mencapai US$4,6 miliar.
Proyek smelter berbasis HPAL dengan kapasitas 120.000 ton nikel dalam format MHP ini berlokasi di Blok Pomalaa. Proyek ini hasil patungan INCO dengan Huayou dan Ford Motor Co yang diteken sejak Maret tahun lalu, yang membentuk perusahaan patungan bernama PT Kolaka Nickel Indonesia (KNI).
Sebagai informasi, survei McKinsey melibatkan lebih dari 3.000 responden di 15 negara. Survei ini mencakup lebih dari 80% penjualan mobil dunia.
Negara dengan responden terbanyak yang menjawab ingin kembali ke mobil BBM adalah Australia dengan 49%, disusul oleh Amerika Serikat (46%), dan Brasil (38%).
Alasan tertinggi bagi mereka yang ingin kembali ke mobil BBM adalah fasilitas pengisian listrik yang belum memadai (35%). Lainnya adalah biaya perawatan yang mahal (34%) dan kesulitan berkendara dalam jarak jauh (32%).
(dov/wdh)