Apabila dibandingkan dengan kota dan kabupaten lainnya di Maluku Utara, menurut laporan Jatam, indeks kedalaman kemiskinan Halmahera Tengah merupakan yang tertinggi kedua setelah Halmahera Timur.
Indeks kedalaman kemiskinan Halmahera pada 2023 tersebut melampaui nilai rata-rata nasional sebesar 1,53 poin. Ini menunjukkan tingkat kedalaman kemiskinan di Halmahera Tengah relatif tinggi.
Adapun, indeks kedalaman kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Makin besar indeksnya menunjukkan jurang kemiskinan di daerah tersebut makin dalam.
Berdasarkan laporan Jatam, angka kemiskinan dan kedalaman kemiskinan tersebut tercatat ketika ruang Maluku Utara memiliki 127 izin usaha tambang dengan luas konsesi mencapai 655.581,43 hekatre (ha).
Dari seluruh total izin tambang tersebut, sebanyak 62 di antaranya merupakan izin tambang komoditas nikel dengan luas konsesi mencapai 239.737,35 ha.
Sebarannya di Halmahera Timur sebanyak 24 izin, diikuti Halmahera Tengah 19 izin, 4 izin melintasi batas administrasi Halmahera Tengah dan Halmahera Timur dengan mayoritas konsesi di Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan 15 izin tambang.
Luas konsesi dari seluruh izin tambang nikel yang berada di Halmahera Tengah tersebut mencapai 95.736,56 ha.
“Itu artinya, dari total luas daratan Halmahera Tengah seluas 227.683 ha, sebanyak 42% di antaranya dicaplok untuk pertambangan,” sebagaimana dikutip melalui laporan tersebut.
Perusahaan nikel yang mendapatkan izin konsesi pertambangan terluas antara lain PT Weda Bay Nickel sebanyak 45.065 ha yang tersebar sampai Halmahera Timur; PT Mega Haltim Mineral 13.510 ha; PT Cetara Bangun Persada 10.460 ha; PT Halmahera Sukses Mineral 7.726 ha; PT Wana Halmahera Barat Permai 3.986 ha; dan PT First Pacific Mining sebanyak 2.080 ha.
Bloomberg Technoz telah melayangkan permintaan konfirmasi kepada PT IWIP mengenai kontribusi yang sudah dilakukan untuk peningkatan kesejahteraan di sekitar wilayah kawasan industri. Namun, belum ada tanggapan hingga berita ini diturunkan.
Namun, dilansir melalui situs resmi IWIP, nilai investasi yang telah direalisasikan adalah sebesar US$11 miliar, menyerap tenaga kerja lebih dari 36.000 dan penyaluran dana corporate social responsibility (CSR) sebesar Rp32 miliar pada 2019—2021.
Ironi Pertumbuhan Ekonomi
Namun, dua provinsi yang menjadi basis kegiatan penghiliran nikel, di mana banyak smelter milik investor asing maupun lokal yang dibangun untuk menambang nikel, yaitu Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, mencetak pertumbuhan ekonomi tinggi pada 2023, menurut data BPS.
Sulawesi Tengah, provinsi seluas 61.841 kilometer persegi dan dihuni oleh sekitar 3,14 juta jiwa orang, mencetak pertumbuhan ekonomi hingga 11,91% tahun lalu, menjadi yang tertinggi untuk wilayah Pulau Sulawesi.
Sementara itu, di wilayah Kepulauan Maluku dan Papua, muncul provinsi Maluku Utara yang mencetak pertumbuhan ekonomi tinggi hingga 20,49% pada 2023 lalu.
Di provinsi yang baru lahir pada 1999 itu dan dihuni oleh sekitar 1,31 juta jiwa itu, juga berdiri banyak usaha tambang nikel.
Di antaranya adalah tambang milik PT Weda Bay Nickel, perusahaan yang dimiliki oleh Thingshan Group dengan 51,2% saham, Eramet -perusahaan asal Prancis dengan 37,8% saham, dan sisa saham dimiliki BUMN PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Ada juga tambang nikel di Kawasi, provinsi yang sama, dikelola oleh PT Trimegah Bangun Persada, sebuah afiliasi Harita Group.
“Industri yang memang cukup besar di kedua provinsi tersebut adalah berasal dari industri olahan barang tambang terutama feronikel. Jadi, jika ditarik kesimpulan, industrialisasi atau program hilirisasi nikel memang memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di sana,” kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar Widyastuti, awal Februari.
Batu Bara
Selain di basis-basis penghiliran nikel, kemiskinan laten juga terjadi di wilayah sekitar pertambangan batu bara. Hal ini juga diakui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menurut Kementerian ESDM, wilayah pertambangan tanpa izin (PETI) menjadi salah satu alasan terjadinya anomali kemiskinan di wilayah dengan kekayaan cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia, yaitu Sumatra Selatan.
Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis M.Idris. F. Sihite mengatakan Sumatra Selatan memiliki kekayaan cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia sebanyak 9,3 miliar ton dengan produksi batu bara 2023 sebanyak 104,68 juta ton, serta menghasilkan penerimaan negara senilai Rp9,898 triliun, dengan iuran tetap sebesar Rp66,4 miliar dan royalti sejumlah Rp9,832 triliun.
Namun, hal tersebut tidak mampu mengurangi tingkat kemiskinan di provinsi ini. Berdasarkan data BPS, persentase penduduk miskin di Sumatra Selatan pada Maret 2024 sebesar 10,97%, menurun 0,81% poin terhadap Maret 2023.
Anomali ini, kata Idris, salah satunya terjadi karena adanya PETI yang mencari keuntungan sesaat tanpa menghiraukan kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan bertanggung jawab. Apalagi, Sumatra Selatan merupakan provinsi dengan PETI terbanyak di Indonesia.
"Sumatra Selatan merupakan salah satu lokasi PETI terbanyak di Indonesia. PETI merupakan tindak pidana pertambangan subsektor minerba dengan delik khusus [lex spesialis] di luar KUHP yang memuat sanksi pidana dengan beb [Pasal 158 s/d Pasal 164 UU No 3 Th 2020]," ujar Idris, pertengahan pekan ini.
(dov/wdh)