Logo Bloomberg Technoz

Isu Baterai

Di sisi lain, Fabby menilai banyaknya pemilik EV di Barat yang ingin kembali ke mobil berbahan bakar fosil tidak dipicu oleh permasalahan jenis baterai yang digunakan dalam mobil listriknya. Dalam hal ini, dia merujuk pada baterai lithium ferro phosphate (LFP).

Dia mengatakan densitas energi dari LFP memang tidak sebesar baterai nickel manganese cobalt (NMC(. Dengan demikian, NMC digunakan pada EV dengan performa tinggi, seperti EV premium serta kendaraan berat seperti truk dan bis.

Sementara itu, LFP merupakan baterai yang dikembangkan oleh China untuk membuat harga EV lebih terjangkau. Bila melihat merek-merek dengan harga Rp300 juta hingga Rp400 juta di Indonesia —yang sebagian besar menggunakan LFP — mampu menempuh 300 hingga 400 kilometer sekali pengisian (charging). 

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia berpendapat baterai LFP memiliki keterbatasan untuk penggunaan EV jarak jauh, yang disinyalir menjadi salah satu penyebab banyak pemilik EV di Barat yang ingin kembali ke mobil bahan bakar minyak (BBM).

Di beberapa negara, pemilik EV mengeluhkan perjalanan yang terhambat karena sebaran SPKLU fast charging untuk baterai LFP belum banyak tersedia.

“Hal lainnya berkaitan dengan perawatan tentunya belum banyak service station yang tersedia kecuali penghasil EV,” ujar Hendra medio pekan ini.

Sumber: McKinsey & Company

Sebelumnya, sebuah riset McKinsey & Company berjudul McKinsey Mobility Consumer Pulse edisi Juni 2024, menyatakan bahwa sebanyak 29% pemilik mobil listrik di tingkat global mempertimbangkan untuk kembali ke mobil berbasis BBM. 

Survei McKinsey melibatkan lebih dari 3.000 responden di 15 negara. Survei ini mencakup lebih dari 80% penjualan mobil dunia. Negara dengan responden terbanyak yang menjawab ingin kembali ke mobil BBM adalah Australia dengan 49%, disusul oleh AS (46%), dan Brasil (38%).

Alasan tertinggi bagi mereka yang ingin kembali ke mobil BBM adalah fasilitas pengisian listrik yang belum memadai (35%). Lainnya adalah biaya perawatan yang mahal (34%) dan kesulitan berkendara dalam jarak jauh (32%).

“Situasi ekonomi terkini juga sangat memengaruhi pembelian mobil,” sebut riset McKinsey.

Terbaru, survei lain dari BloombergNEF mengungkapkan pertumbuhan rata-rata penjualan kendaraan listrik global tahun lalu diperkirakan 29%, kurang dari setengah pertumbuhan tahun sebelumnya. Tahun ini, pertumbuhan penjualan diperkirakan terus melambat di angkat 21%.

Adapun, beberapa faktor yang dinilai memberatkan laju adopsi EV di banyak negara a.l. perhitungan keuangan untuk memiliki EV menjadi tidak lagi seimbang akibat pencabutan subsidi dan keringanan pajak di sejumlah negara, kurang banyak model dengan harga yang relatif terjangkau, kenaikan premi asuransi, biaya perbaikan yang tinggi, serta kekhawatiran penurunan harga jual mobil listrik bekas.

Faktor-faktor yang memberatkan kantong konsumen ini —ditambah dengan kekhawatiran akan infrastruktur pengisian baterai mobil listrik — menyebabkan terjadinya penurunan tingkat adopsi kendaraan bertenaga listrik di tingkat global, menurut BNEF.

(dov/wdh)

No more pages