Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta Pakar otomotif menilai penggunaan baterai lithium ferro phosphate (LFP) tidak menentukan cepat atau lambatnya adopsi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di banyak negara.

Akademisi sekaligus pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai sejauh ini tidak ada bukti bahwa baterai LFP menjadi alasan pemilik EV di negara-negara maju ingin beralih kembali ke mobil berbahan bakar minyak karena keterbatasan jarak tempuh mobil listrik berbaterai LFP.

“Karena masalahnya bukan di jenis kimia baterainya, tetapi lebih kepada besar daya simpan baterainya. BYD Atto 3 dapat mencapai jarak tempuh hingga 480 km, sedangkan batas psikologis kenyamanan pasar adalah 400 km per charge,” kata Yannes saat dihubungi, Jumat (26/7/2024).

Dia menambahkan, generasi kedua dari baterai LFP tipe Blade BYD bahkan diklaim dapat meningkatkan daya jangkau hingga 1.000 km per charge. 

BYD Atto 3./Bloomberg-Chris Ratcliffe

Dia mengatakan banyaknya pemilik EV di negara maju —khususnya Amerika Serikat (AS) — yang berpikir untuk kembali menggunakan mobil BBM lebih dipicu karena pengalaman pengisian daya yang kurang memuaskan.

Infrastruktur pengisian daya baterai memang dinilai sangat penting dalam ekosistem kendaraan listrik, lantaran ketidakandalan dan ketidakpastian mengenai ketersediaan dan kecepatan pengisian daya menciptakan kecemasan bagi pemilik EV.

“Bayangkan Anda sedang dalam perjalanan jauh dan tiba-tiba kehabisan daya baterai, tetapi tidak ada stasiun pengisian daya yang berfungsi di sekitar. Ini adalah situasi yang sangat frustasi dan dapat menghambat keinginan untuk menggunakan EV dalam perjalanan jarak jauh,” kata Yannes.

Masalah keterbatasan infrastruktur tersebut, lanjutnya, dialami di banyak negara. Walhasil, para pemilik EV seringkali harus merencanakan perjalanan dengan sangat hati-hati untuk memastikan bahwa mereka dapat menemukan stasiun pengisian daya di sepanjang rute.

Tren penggunaan baterai jenis LFP di negara-negara maju sebelumnya disinyalir sebagai salah satu biang keladi banyaknya pemilik EV di Barat yang mulai berpikir untuk kembali beralih menggunakan mobil berbahan bakar fosil.

Dalam kaitan itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menjelaskan baterai LFP memiliki keterbatasan untuk penggunaan EV jarak jauh.

Walhasil, perjalanan bakal terhambat karena sebaran stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) fast charging untuk baterai LFP belum banyak tersedia.

“Hal lainnya berkaitan dengan perawatan tentunya belum banyak service station yang tersedia kecuali penghasil EV,” ujar Hendra kepada Bloomberg Technoz, Kamis (25/7/2024).

Hendra mengatakan biaya perawatan EV memang tidak tinggi, tetapi perlu dilakukan secara rutin, khususnya untuk AC serta ban.

Dengan demikian, IMA yakin permintaan nikel tetap bakal naik karena konsumen membutuhkan baterai EV yang memiliki kapasitas penyimpan listrik dengan durasi panjang.

Sumber: McKinsey & Company

Sebelumnya, sebuah riset McKinsey & Company berjudul McKinsey Mobility Consumer Pulse edisi Juni 2024, menyatakan bahwa sebanyak 29% pemilik mobil listrik di tingkat global mempertimbangkan untuk kembali ke mobil berbasis bahan bakar minyak (BBM).

Survei McKinsey melibatkan lebih dari 3.000 responden di 15 negara. Survei ini mencakup lebih dari 80% penjualan mobil dunia. Negara dengan responden terbanyak yang menjawab ingin kembali ke mobil BBM adalah Australia, dengan 49%. Disusul oleh Amerika Serikat/AS (46%) dan Brasil (38%).

Alasan tertinggi bagi mereka yang ingin kembali ke mobil BBM adalah fasilitas pengisian listrik yang belum memadai (35%). Lainnya adalah biaya perawatan yang mahal (34%) dan kesulitan berkendara dalam jarak jauh (32%).

“Situasi ekonomi terkini juga sangat memengaruhi pembelian mobil,” sebut riset McKinsey.

Pertumbuhan penjualan EV global./dok. BNEF

Terbaru, survei lain dari BloombergNEF mengungkapkan pertumbuhan rata-rata penjualan kendaraan listrik global tahun lalu diperkirakan 29%, kurang dari setengah pertumbuhan tahun sebelumnya. Tahun ini, pertumbuhan penjualan diperkirakan terus melambat di angkat 21%.

Adapun, beberapa faktor yang dinilai memberatkan laju adopsi EV di banyak negara a.l. perhitungan keuangan untuk memiliki EV menjadi tidak lagi seimbang akibat pencabutan subsidi dan keringanan pajak di sejumlah negara, kurang banyak model dengan harga yang relatif terjangkau, kenaikan premi asuransi, biaya perbaikan yang tinggi, serta kekhawatiran penurunan harga jual mobil listrik bekas.

Faktor-faktor yang memberatkan kantong konsumen ini —ditambah dengan kekhawatiran akan infrastruktur pengisian baterai mobil listrik — menyebabkan terjadinya penurunan tingkat adopsi kendaraan bertenaga listrik di tingkat global, menurut BNEF.

(wdh)

No more pages