Infrastruktur pengisian daya baterai memang dinilai sangat penting dalam ekosistem kendaraan listrik, lantaran ketidakandalan dan ketidakpastian mengenai ketersediaan dan kecepatan pengisian daya menciptakan kecemasan bagi pemilik EV.
“Bayangkan Anda sedang dalam perjalanan jauh dan tiba-tiba kehabisan daya baterai, tetapi tidak ada stasiun pengisian daya yang berfungsi di sekitar. Ini adalah situasi yang sangat frustasi dan dapat menghambat keinginan untuk menggunakan EV dalam perjalanan jarak jauh,” kata Yannes.
Masalah keterbatasan infrastruktur tersebut, lanjutnya, dialami di banyak negara. Walhasil, para pemilik EV seringkali harus merencanakan perjalanan dengan sangat hati-hati untuk memastikan bahwa mereka dapat menemukan stasiun pengisian daya di sepanjang rute.
Tren penggunaan baterai jenis LFP di negara-negara maju sebelumnya disinyalir sebagai salah satu biang keladi banyaknya pemilik EV di Barat yang mulai berpikir untuk kembali beralih menggunakan mobil berbahan bakar fosil.
Dalam kaitan itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menjelaskan baterai LFP memiliki keterbatasan untuk penggunaan EV jarak jauh.
Walhasil, perjalanan bakal terhambat karena sebaran stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) fast charging untuk baterai LFP belum banyak tersedia.
“Hal lainnya berkaitan dengan perawatan tentunya belum banyak service station yang tersedia kecuali penghasil EV,” ujar Hendra kepada Bloomberg Technoz, Kamis (25/7/2024).
Hendra mengatakan biaya perawatan EV memang tidak tinggi, tetapi perlu dilakukan secara rutin, khususnya untuk AC serta ban.
Dengan demikian, IMA yakin permintaan nikel tetap bakal naik karena konsumen membutuhkan baterai EV yang memiliki kapasitas penyimpan listrik dengan durasi panjang.
Sebelumnya, sebuah riset McKinsey & Company berjudul McKinsey Mobility Consumer Pulse edisi Juni 2024, menyatakan bahwa sebanyak 29% pemilik mobil listrik di tingkat global mempertimbangkan untuk kembali ke mobil berbasis bahan bakar minyak (BBM).
Survei McKinsey melibatkan lebih dari 3.000 responden di 15 negara. Survei ini mencakup lebih dari 80% penjualan mobil dunia. Negara dengan responden terbanyak yang menjawab ingin kembali ke mobil BBM adalah Australia, dengan 49%. Disusul oleh Amerika Serikat/AS (46%) dan Brasil (38%).
Alasan tertinggi bagi mereka yang ingin kembali ke mobil BBM adalah fasilitas pengisian listrik yang belum memadai (35%). Lainnya adalah biaya perawatan yang mahal (34%) dan kesulitan berkendara dalam jarak jauh (32%).
“Situasi ekonomi terkini juga sangat memengaruhi pembelian mobil,” sebut riset McKinsey.
Terbaru, survei lain dari BloombergNEF mengungkapkan pertumbuhan rata-rata penjualan kendaraan listrik global tahun lalu diperkirakan 29%, kurang dari setengah pertumbuhan tahun sebelumnya. Tahun ini, pertumbuhan penjualan diperkirakan terus melambat di angkat 21%.
Adapun, beberapa faktor yang dinilai memberatkan laju adopsi EV di banyak negara a.l. perhitungan keuangan untuk memiliki EV menjadi tidak lagi seimbang akibat pencabutan subsidi dan keringanan pajak di sejumlah negara, kurang banyak model dengan harga yang relatif terjangkau, kenaikan premi asuransi, biaya perbaikan yang tinggi, serta kekhawatiran penurunan harga jual mobil listrik bekas.
Faktor-faktor yang memberatkan kantong konsumen ini —ditambah dengan kekhawatiran akan infrastruktur pengisian baterai mobil listrik — menyebabkan terjadinya penurunan tingkat adopsi kendaraan bertenaga listrik di tingkat global, menurut BNEF.
(wdh)