Lebih lanjut, menurut Mulyanto, tidaklah mengejutkan jika hal tersebut nantinya benar terjadi. Terlebih, lanjutnya, pemerintah selama ini seperti 'dikendalikan' oleh PTFI dalam hal kebijakan ekspor konsentrat bijih tembaga.
Dia mengatakan dasar hukum pelarangan ekspor konsentrat tembaga sebelumnya, yakni UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, sudah dilanggar berkali-kali oleh Freeport. Pelanggaran tersebut tentunya didukung oleh sikap pemerintah yang jauh dari kata tegas dalam menegakkan aturan yang dibuatnya.
Pembangunan smelter seharusnya sudah dilakukan sejak 1997, tetapi tidak kunjung terlaksana hingga akhirnya terbit UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
PTFI kemudian diberikan waktu selama lima tahun setelah diterbitkannya UU tersebut atau sampai dengan 2014 untuk membangun smelter. Namun, sampai dengan tenggat tersebut, perusahaan tidak kunjung merealisasikannya.
Pembangunan smelter baru terealisasi setelah pemerintah menjadikannya syarat perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) hingga 2041. Smelter tersebut diprediksi baru akan rampung pada Desember 2023 atau tujuh bulan setelah pelarangan ekspor konsentrat bijih tembaga dimulai pada Juni 2023.
"Para menteri terkait sepertinya 'masuk angin'. Apalagi selama ini kebijakan pemerintah kerap inkonsisten," ujar Mulyanto.
Menurut Mulyanto, persoalan ini makin runyam lantaran tidak adanya keseriusan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dia menyebut banyak persoalan yang tidak ditangani secara maksimal usai Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin dilantik menjadi Pejabat (Pj) Gubernur Bangka Belitung pada Mei 2022.
“Sementara itu, dirjen di Kementerian ESDM yang mengurusi soal ini hampir satu tahun menjadi Pj Gubernur Babel, belum lagi meledak kasus korupsi tukin [tunjangan kinerja], yang melibatkan Plh. [Pelaksana Harian] Dirjen Idris Sihite. Ini menjadi makin runyam dan terbengkalai,” tuturnya.
Sebelumnya, PTFI menerima kuota ekspor konsentrat sebanyak 2,3 juta ton pada Februari, naik dari jatah tahun lalu sebanyak 2 juta ton. Namun, pemerintah memberi tenggat hingga Juni 2023 bagi PTFI untuk merealisasikan alokasi ekspornya.
Dalam pemberitaan di berbagai media massa, Presiden Direktur PTFI Tony Wenas pekan lalu menyatakan keberatan dengan tenggat ketat tersebut lantaran kapasitas produksi konsentrat yang dimiliki hanya mencapai 200.000 ton.
Dia bahkan mengeklaim moratorium yang diberlakukan pada Juni akan berdampak pada PHK sekitar 60% karyawan PTFI, menyerupai kejadian pada 2017 di mana perusahaan tidak boleh melakukan aktivitas ekspor konsentrat.
(rez/wdh)