Bursa saham Vietnam juga menguat, disusul indeks PSEi Filipina. Sedangkan bursa Malaysia tertekan begitu juga pasar saham Thailand.
Tekanan yang dialami oleh pasar surat utang RI, kemungkinan tidak terlepas dari mengempisnya optimisme pasar terhadap peluang penurunan bunga Federal Reserve.
Pertumbuhan ekonomi AS masih kuat pada kuartal II-2024 memicu kekhawatiran inflasi masih akan sulit ditekan di negeri itu dan membatasi ruang bagi The Fed untuk memulai pelonggaran moneter.
Hal tersebut pada akhirnya mengecilkan pula peluang bagi Bank Indonesia memulai penurunan bunga acuan, yang sejauh ini memang sangat dipengaruhi oleh arah kebijakan The Fed. Alhasil, surat utang RI semakin tertekan.
Premi risiko investasi RI naik dua hari berturut-turut dan pagi ini terpantau masih bertahan di kisaran 76,1, sedikit turun dari tadinya 77. Pada 23 Juli lalu, investor asing menjual surat utang RI senilai US$172,4 juta atau sekitar Rp2,81 triliun, nilai penjualan terbesar dalam sehari sejak 20 Juni.
Dampak SRBI
Optimisme yang sempat menguat terkait prospek penurunan BI rate yang sangat dipengaruhi langkah The Fed itu, nyatanya hanya berdampak terbatas pada harga obligasi negara jangka pendek.
Prospek penurunan bunga acuan Indonesia sejauh ini tidak cukup ampuh mendorong reli harga obligasi pemerintah jangka pendek, terjegal arus modal di pasar lebih kencang menyerbu Sekuritas Rupiah (SRBI). Peningkatan pasokan SRBI kemungkinan juga akan melemahkan dampak penurunan BI rate terhadap yield SBN tenor pendek.
Sejauh ini BI telah menjual Rp800 triliun atau sekitar US$49 miliar SRBI yang menawarkan imbal hasil jauh lebih tinggi dibanding SBN dengan tenor setara. Investor asing menguasai sekitar Rp130 triliun SRBI per akhir Juni.
Bunga SRBI tenor 12 bulan pada lelang terakhir diberikan di level 7,23%. Meski itu sudah jauh menurun dibanding 7,53% pada awal Juli, namun tingkat bunga SRBI itu jauh melampaui SBN tenor pendek. Pagi ini, SBN-1Y ada di 6,64%. Sementara seri SPN dengan tenor 3 bulan dan 6 bulan, pada lelang SUN terakhir, ditetapkan di 6,45% dan 6,72%.
SRBI telah menggeser arus masuk modal dari pasar SBN jangka pendek, berkerumun menyerbu instrumen moneter itu sehingga membatasi ruang penurunan yield obligasi negara walaupun ada peluang BI memangkas bunga acuan 50 bps tahun ini, menurut analisis Francis Cheung, Head of Forex Strategist and Rate di OCBC Singapura, dilansir dari Bloomberg News.
Obligasi jangka pendek biasanya jauh lebih sensitif terhadap ekspektasi bunga acuan. BI pada pernyataan terakhir menyatakan ruang penurunan BI rate kemungkinan terbuka pada kuartal IV-2024 yang bisa menaikkan harga surat utang.
Namun, dengan SRBI yang masih jauh melampaui imbalan di pasar surat utang, investor terlihat masih enggan masuk ke obligasi negara jangka pendek.
(rui/aji)