Ini adalah program unggulan Presiden AS Barack Obama yang ingin memberikan asuransi kesehatan bagi 15% warganya yang jauh dari layanan kesehatan -- kelompok lansia dan kelompok miskin. Program diterapkan dengan mewajibkan seluruh warga AS memiliki asuransi kesehatan sehingga kelompok muda dan kaya bisa memberikan subsidi bagi kelompok rentan -- nyaris mirip dengan BPJS Kesehatan.
"Dan kita lihat FBI bilang ternyata 3-10% klaim itu pasti ada fraud-nya di Amerika," kata Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan.
Tiga Rumah Sakit Diseret Pidana
Tim bersama kemudian melakukan audit sampel pada enam rumah sakit. Itu pun secara khusus hanya memeriksa klaim dari layanan kesehatan fisioterapi dan operasi katarak.
Mereka kemudian menemukan 3 rumah sakit melakukan pengajuan klaim fiktif kepada BPJS Kesehatan. Satu rumah sakit berada di Jawa Tengah dengan phantom billing mencapai Rp29 miliar; serta dua rumah sakit di Sumatra Utara dengan dugaan klaim Rp4 miliar dan Rp1 miliar.
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan mengatakan, tim telah melakukan pengumpulan bahan dan keterangan, termasuk sejumlah dokumen. Seluruh informasi tersebut telah dipaparkan di hadapan Pimpinan KPK dengan hasil kesepakatan telah terjadi tindak pidana korupsi di tiga RS tersebut.
"Tiga [RS] ini dipindahkan ke penindakan. Nanti urusan siapa yang ambil apakah kejaksaan yang melakukan penyelidikan atau KPK, itu nanti diurus sama pimpinan KPK," kata Pahala.
Dua Modus Klaim Fiktif
Tim bersama menemukan dua modus utama dalam pengajuan klaim fiktif BPJS Kesehatan. yang terjadi pada dugaan tindak pidana korupsi tersebut.
"Ternyata di tiga rumah sakit ada tagihan klaim 4.341 kasus tapi sebenarnya hanya ada sekitar 1.000 kasus di buku catatan medis. Jadi sekitar 3 ribuan itu diklaim sebagai fisioterapi tapi sebenarnya gak ada di catatan medis," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Rabu (24/7/2024).
Keberadaan 3.269 klaim fiktif ini menjadi salah satu modus yang dilakukan dengan istilah medical diagnose yang dibuat tak benar.
Sebagai contoh, sebuah rumah sakit tercatat pernah menagihkan biaya 10 kali tindakan fisioterapi seorang pasien ke BPJS Kesehatan. Usai diperiksa, pasien tersebut ternyata mengaku hanya menjalani tindakan terapi sebanyak 2 kali.
Demikian pula dengan operasi katarak, sebuah rumah sakit sempat mengajukan klaim pelaksanaan operasi untuk 39 pasien. Namun, secara faktual, rumah sakit tersebut hanya melakukan operasi katarak pada 14 pasien.
Modus kedua, kata Pahala, disebut dengan istilah Phantom Billing yang merupakan tindak kejahatan yang lebih parah. Hal ini terjadi saat rumah sakit sebenarnya tak memiliki pasien, namun tetap mengajukan klaim tindakan medis ke BPJS Kesehatan.
Menurut dia, secara faktual, rumah sakit sebenarnya tak melakukan tindakan medis apa pun. Mereka juga tak memiliki pasien. Namun, mereka melakukan rekayasa dokumen medis sehingga seolah ada sejumlah pasien yang melakukan beberapa tindakan medis; yang semuanya adalah fiktif.
Terduga Pelaku Klaim Fiktif
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan mengungkap pada satu dari tiga kasus klaim fiktif yang tengah diperiksa; tim bersama mendeteksi setidaknya ada 8 orang yang terlibat. Mereka adalah para pemilik atau pengelola rumah sakit, hingga dokter.
"Pokoknya ini enggak mungkin sendiri,” kata Pahala.
Salah satu pelaku yang pasti memiliki peran krusial adalah pemilik rumah sakit yang menjadi pihak pengaju klaim layananan ke BPJS Kesehatan. Mereka juga yang kemudian menerima pencairan uang klaim dari BPJS Kesehatan.
Dalam penelusuran, KPK juga mendeteksi peran keluarga dari pemilik rumah sakit dan dokter yang bertugas. Meski demikian, belum bisa dipastikan tentang peran para dokter tersebut. Karena, para dokter bisa saja dipaksa membuat dokumen medis fiktif untuk diajukan pemilik rumah sakit ke BPJS kesehatan.
Sanksi untuk Rumah Sakit dan Dokter
Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Murti Utami mengatakan, lembaganya juga akan menjatuhkan sanksi kepada rumah sakit hingga dokter yang terlibat dalam dugaan fraud BPJS Kesehatan.
Berkaitan dengan rumah sakit, Kemenkes bisa saja menghentikan kerja sama layanan kesehatan tersebut dengan BPJS Kesehatan.
Sedangkan kepada para dokter, Kemenkes bisa memberikan sanksi dengan menghentikan, membekukan izin, hingga pencabutan izin praktek.
“Kemenkes kami sudah memiliki sistem informasi. Jadi, siapa kerja di mana, NIK-nya, SIP-nya, itu sudah terdata, di dalam sistem itu kami menambahkan rekam jejak,” kata dia.
Ultimatum 6 Bulan
Tim bersama saat ini tengah menyiapkan tim audit klaim BPJS Kesehatan tingkat nasional hingga provinsi. Tim ini rencananya akan menggelar audit masif pada enam bulan mendatang.
KPK pun meminta seluruh rumah sakit yang pernah mengajukan klaim fiktif ke BPJS Kesehatan untuk mengaku pada periode enam bulan ini. Mereka juga bisa mulai melakukan pengembalian dana tersebut sesuai dengan kesepakatan dengan BPJS Kesehatan.
Sesuai Permenkes nomor 19 tahun 2016, rumah sakit yang menimbulkan fraud pada BPJS Kesehatan bisa mengembalikan dana dari klaim fiktif ditambah denda; tanpa ancaman pidana.
Akan tetapi, Permenkes tersebut tak akan berlaku jika fraud ditemukan dalam audit KPK dan tim bersama mulai enam bulan mendatang. Artinya, tim bersama menilai sempat ada upaya penutupan atau tidak mau mengakui secara terbuka.
Hal ini membuat rumah sakit dan para pelakunya akan diseret ke ranah pidana; dengan tetap wajib mengembalikan dana yang diklaim secara fiktif dari BPJS Kesehatan. Pengembalian dana bisa dilakukan dengan pembayaran atau penyitaaan aset dalam proses pidana.
"Tim bersepakat kita kasih kesempatan 6 bulan ke depan untuk semua rumah sakit yang klaim [BPJS Kesehatan]. Kalau ada melakukan phantom billing dan medical diagnose tidak tepat, itu ngaku saja," kata Pahala.
"Silahkan koreksi klaimnya. Sesudah 6 bulan, nanti tim bersama melakukan audit secara masif atas [semua] klaim BPJS Kesehatan."
(red/frg)