Logo Bloomberg Technoz

“Lalu, memiliki EV bagi sebagian konsumen di Indonesia masih lebih cenderung dianggap sebagai bagian dari gaya hidup yang ramah lingkungan dan modern, sehingga dapat meningkatkan prestise sosial pembelinya,” tutur Jannes.

Dengan kata lain, kata Yannes, jika motivasi konsumen EV di Barat adalah karena kesadaran lingkungan dan keinginan untuk mengurangi emisi karbon; konsumen di Indonesia lebih melihatnya sebagai penunjang gaya hidup dan status sosial.

Di sisi lain, jika pemerintah di banyak negara Barat memberikan insentif EV dengan fokus untuk aspek lingkungan dan penurunan emisi, pemerintah di Indonesia memberikan stimulus kendaraan listrik dengan tujuan untuk mendorong industri otomotif nasional.

“Survei-survei yang dilakukan tentunya bermanfaat untuk mengarahkan produsen mobil untuk fokus pada pengembangan produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen, seperti meningkatkan jangkauan dan memperbaiki layanan purnajual,” lanjut Yannes.

Di Indonesia, sambungnya, keandalan produk, layanan purna jual, dan ketersediaan suku cadang juga masih menjadi pertimbangan penting lambatnya adopsi EV, selain kebiasaan yang melekat pada penggunaan kendaraan berbahan bakar bensin dan kondisi jalan yang beragam.

Sumber: McKinsey & Company


Sebelumnya, sebuah riset McKinsey & Company berjudul McKinsey Mobility Consumer Pulse edisi Juni 2024, menyatakan bahwa sebanyak 29% pemilik mobil listrik di tingkat global mempertimbangkan untuk kembali ke mobil berbasis bahan bakar minyak (BBM).

Survei McKinsey melibatkan lebih dari 3.000 responden di 15 negara. Survei ini mencakup lebih dari 80% penjualan mobil dunia. Negara dengan responden terbanyak yang menjawab ingin kembali ke mobil BBM adalah Australia, dengan 49%. Disusul oleh Amerika Serikat/AS (46%) dan Brasil (38%).

Alasan tertinggi bagi mereka yang ingin kembali ke mobil BBM adalah fasilitas pengisian listrik yang belum memadai (35%). Lainnya adalah biaya perawatan yang mahal (34%) dan kesulitan berkendara dalam jarak jauh (32%).

“Situasi ekonomi terkini juga sangat memengaruhi pembelian mobil,” sebut riset McKinsey.

Pertumbuhan penjualan EV global./dok. BNEF

Terbaru, survei lain dari BloombergNEF mengungkapkan pertumbuhan rata-rata penjualan kendaraan listrik global tahun lalu diperkirakan 29%, kurang dari setengah pertumbuhan tahun sebelumnya. Tahun ini, pertumbuhan penjualan diperkirakan terus melambat di angkat 21%.

Adapun, beberapa faktor yang dinilai memberatkan laju adopsi EV di banyak negara a.l. perhitungan keuangan untuk memiliki EV menjadi tidak lagi seimbang akibat pencabutan subsidi dan keringanan pajak di sejumlah negara, kurang banyak model dengan harga yang relatif terjangkau, kenaikan premi asuransi, biaya perbaikan yang tinggi, serta kekhawatiran penurunan harga jual mobil listrik bekas.

Faktor-faktor yang memberatkan kantong konsumen ini —ditambah dengan kekhawatiran akan infrastruktur pengisian baterai mobil listrik — menyebabkan terjadinya penurunan tingkat adopsi kendaraan bertenaga listrik di tingkat global, menurut BNEF.

(wdh)

No more pages