Akan tetapi, Permenkes tersebut tak akan berlaku jika fraud ditemukan dalam audit KPK dan tim bersama. Artinya sempat ada upaya penutupan atau tidak mau mengakui secara terbuka.
Menurut Pahala, rumah sakit yang terbukti melakukan phantom billing dan medical diagnose tak tepat pada BPJS Kesehatan dalam audit tetap akan dipaksa untuk mengembalikan dana yang diklaim tersebut. Selain itu, KPK akan menyeret para pelaku yang terlibat ke ranah pidana atau hukum.
Selain itu, Kementerian Kesehatan juga akan mencabut kerja sama rumah sakit tersebut dengan BPJS Kesehatan. Para dokter yang terlibat pun terancam untuk menerima sanksi penangguhan hingga pencabutan izin praktik.
"Jadi sekali lagi kita mengimbau jadi sukarela saja menkoreksi klaimnya," ujar Pahala.
Pada saat ini, KPK dan Tim Bersama menemukan tiga rumah sakit di Jawa Tengah dan Sumatra Utara melakukan fraud atau klaim fiktif ke BPJS Kesehatan senilai Rp35 miliar. KPK pun akan menyeret pemilik rumah sakit dan dokter ke ranah pidana.
Dalam kasus ini, KPK mendeteksi dua modus fraud yang dilakukan. Pertama, Medical Diagnose tak tepat yaitu rumah sakit mengklaim tagihan layanan yang tak pernah dilakukan kepada BPJS Kesehatan.
Misalnya, seorang pasien sebenarnya hanya melakukan fisioterapi dua kali, namun diklaim ke BPJS untuk tindakan fisioterapi hingga 10 kali. Atau, seorang pasien katarak hanya melakukan operasi pada satu mata, namun diklaim untuk tindakan dua mata.
Kedua, phantom billing yaitu rumah sakit mengajukan klaim fiktif yang memang tak pernah ada pasien dan tindakan medis yang dilakukan. Rumah sakit membuat dokumen medis fiktif seolah pernah ada sejumlah pasien yang melakukan tindakan medis tertentu; kemudian biayanya diajukan ke BPJS Kesehatan.
"Kita sambil siapkan tim di level provinsi untuk melakukan verifikasi fraud yang kita bilang audit atas klaim BPJS Kesehatan secara lebih masif," ujar Pahala.
(fik/frg)