Perbankan yang semula memegang SBN terbesar, terutama sejak gelombang jual berlangsung masif oleh investor asing kala pandemi Covid-19 meletus, kini bertengger di urutan kedua pemilik surat utang terbanyak.
Industri perbankan kini menguasai 21,11% atau Rp1.221,78 triliun SBN, sudah berkurang sebesar Rp273,41 dibanding posisi akhir 2023 yang sebesar Rp1.495,19 triliun.
Lonjakan kepemilikan SBN oleh bank sentral, menurut pengamat, menjadi salah satu dampak kebijakan stabilisasi rupiah oleh BI. Sebagai gambaran, nilai rupiah telah merosot 5,21% year-to-date. Rupiah bahkan sempat terperosok hingga ke Rp16.450/US$ pada 21 Juni lalu, level terendah sejak krisis pandemi pada 2020 dan mencerminkan pelemahan nilai tukar hampir 7% sepanjang tahun.
Ketika krisis pandemi pecah, investor asing melepas sekitar Rp300 triliun SBN. Sementara untuk menstimulasi ekonomi yang mati suri akibat pandemi, pemerintah dan BI menyepakati skema burden sharing.
Skema itu memungkinkan pemerintah tetap bisa menjual SBN dengan BI sebagai pembeli, sehingga kas negara terisi. Dalam bahasa sederhana, BI cetak uang untuk membiayai kebutuhan fiskal.
Baca juga: Maju Kena, Mundur Kena: Kala BI Tersandera Segunung Surat Utang
Skema itu sudah berakhir pada 2022. Namun, alih-alih menurun, kepemilikan BI atas SBN malah semakin besar.
"Selama BI beli SBN-nya di pasar sekunder dan ditujukan untuk kepentingan manajemen atau stabilisasi rupiah maka hal itu masih bisa dimengerti. Namun, bila berlanjut, ditambah banyak memborong di pasar perdana, itu bisa merusak independensi BI sebagai bank sentral," komentar Bhima Yudistira, Ekonom dan Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies.
Kepemilikan SBN yang terlalu besar pada akhirnya akan membebani neraca bank sentral dan membuat kebijakan moneter ke depan menjadi kurang efektif. "Itu bisa mempengaruhi jumlah uang beredar dan memicu inflasi yang lebih tinggi dalam jangka menengah," kata Bhima.
BI dinilai harus menunjukkan bahwa penguasaan di SBN yang terus membesar itu semata-mata ditujukan untuk menjaga stabilitas rupiah.
"Bukan menggadaikan independensi BI di bawah ketiak eksekutif [pemerintah]. Bila terlalu dominan karena ada tekanan dari eksekutif untuk beli SBN lebih besar, dikhawatirkan itu bisa menggerus kepercayaan investor terhadap pasar keuangan kita," jelas Bhima.
Tersedot SRBI
Kepemilikan SBN bank sentral yang makin besar sulit dilepaskan dari kebijakan BI merilis instrumen operasi moneter baru, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sejak September tahun lalu. Instrumen yang ditujukan untuk menarik dana asing itu, dengan tenor pendek dan bunga tinggi, pada akhirnya menyedot dana pasar kesana termasuk perbankan.
Perbankan banyak melepas SBN dan diduga mengalihkan dananya ke SRBI yang memberi imbal hasil lebih tinggi. Penjualan SBN oleh bank yang cukup masif di pasar, mencapai hampir Rp300 triliun, sepanjang tahun ini, tentu mempengaruhi yield surat utang negara di pasar sekunder. Pada saat yang sama, kepemilikan perbankan di SRBI bertambah Rp272 triliun selama Januari-Juni.
Lonjakan yield SBN akibat tekanan jual tersebut berdampak pada kenaikan cost of fund pemerintah menjadi semakin mahal. Itu karena Kementerian Keuangan harus membayar imbal hasil lebih tinggi untuk penerbitan baru maupun refinancing di pasar primer.
Di titik ini, BI terang-terangan memberikan jaminan untuk menjadi standby buyer di pasar. Dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI pekan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo memastikan, bank sentral selalu berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
BI juga berjanji akan menyerap SBN di pasar bila harganya jatuh dan imbal hasilnya melonjak.
"Kalau kenaikan yield lebih tinggi, kami akan beli di pasar sekunder supaya yield SBN tidak melebar bahkan stabil bahkan itu juga terjadi meskipun inflow kecil. SBN kini sudah mulai sedikit-sedikit masuk [dana asing] meski belum konsisten sedang ke saham masih kecil. Jadi untuk jaga stabilitas jangka pendek, yield SRBI memang perlu sejalan dengan dengan global supaya bisa menarik arus masuk modal asing," kata Perry.
Lebih lanjut, Perry menyatakan BI sudah berbicara dengan Kemenkeu untuk strategi pasar. "Yield SBN tidak tinggi relatif stabil, kami sudah koordinasi dengan Kemenkeu bila kenaikan yield SBN berlebihan, kami akan beli di pasar sekunder. Makanya dalam koordinasi ini Kemenkeu akan fokus pada SBN jangka panjang, sedangkan BI memakai SRBI untuk sementara kuartal III," terang Perry.
Perry menepis dugaan adanya crowding out di pasar saat ini yang disinyalir akibat agresivitas BI menerbitkan SRBI dengan tawaran bunga tinggi.
"Apakah crowding out? Tidak. Dari SBN ke SRBI baik dari suku bunga maupun lelang SBN untuk pembiayaan fiskal, tidak [crowding out]. Apakah kemudian berdampak pada keketatan likuiditas? Kalau ditanya keketatan likuiditas di perbankan, tidak [ketat]. Alat Likuid dibagi Dana Pihak Ketiga [AL/DPK] itu 25,36%, lebih dari cukup. Sepanjang sejarah, AL/DPK tidak pernah lebih dari 15%. Lalu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga juga tinggi 8,45%," kata Perry.
Menurut penilaian analis, penerbitan SRBI tidak disangkal telah memunculkan risiko baru dalam lanskap moneter Indonesia. Instrumen tersebut berpotensi menggeser likuiditas dari SBN. "Tawaran spread positif yang signifikan, rata-rata sebesar 32-51 basis poin, jauh lebih menarik dibandingkan instrumen keuangan lain membawa konsekuensi terjadinya pergeseran penempatan likuiditas perbankan dari SBN ke SRBI secara substansial," kata Peneliti Senior CORE Indonesia Etika Karyani.
Menurutnya, fenomena tersebut menimbulkan kekhawatiran karena perbedaan yield antar instrumen seharusnya minimal untuk menghindari arbitrase antar otoritas keuangan. "Jika kondisi itu berlanjut, ada risiko serius bahwa pemerintah akan terpaksa membayar bunga yang lebih tinggi, terutama untuk pendanaan jangka pendek. Situasi tersebut dapat mempersulit manajemen utang pemerintah dan berpotensi meningkatkan beban fiskal secara keseluruhan," kata Etika.
Pada dua lelang terakhir SRBI, terindikasi bunga diskonto yang diberikan mulai melandai meski masih melampaui tingkat bunga SBN tenor pendek.
Dalam lelang Rabu lalu, SRBI-12 bulan diberikan bunga 7,23%, terendah sejak 19 April.
Hanya saja, efek penurunan itu tidak serta merta mempengaruhi tingkat bunga pasar. Tingkat bunga IndONIA masih terus melejit yaitu dari posisi 6,105% pada 18 Juli, menjadi 6,197% sampai Rabu kemarin.
Tingkat JIBOR-1 Pekan, naik berturut-turut dua hari ini ke kisaran 6,507%, tertinggi sejak 22 Mei lalu. Sementara JIBOR-1 Bulan, juga bertahan tinggi di 6,9%, level tertinggi sejak 30 April lalu.
Sementara pada lelang SUN yang dihelat Selasa lalu, meski animo pasar meningkat, permintaan imbal hasil dari para investor terindikasi masih lebih tinggi, terutama untuk tenor panjang.
Pemerintah pun akhirnya memberikan yield lebih tinggi untuk seri-seri tersebut. Yield rata-rata dimenangkan untuk seri FR0098 akhirnya ditetapkan naik 5,03 bps menjadi 7,14% dan naik 2,71 bps menjadi 7,15% untuk seri FR0097.
~ update pada total kepemilikan SBN oleh perbankan dan Bank Indonesia.
(rui/aji)