Logo Bloomberg Technoz

Situasi ini memukul ambisi pemerintah Singapura untuk menciptakan sektor pertanian teknologi tinggi yang bisa mengurangi ketergantungan negara itu pada impor pangan. 

Pada 2019, pusat finansial Asia ini mengumumkan rencana untuk memproduksi sepertiga dari kebutuhan nutrisi rakyatnya pada akhir abad ini--program yang disebut "30 by 30". Kini, separuh jalan dari tenggat waktu itu, produksi dalam negeri hanya bisa memenuhi kurang dari 10% kebutuhan makanan laut dan sayur mayur, dua dari tiga sumber pangan yang dicatat dengan saksama oleh pemerintah. 

"Ini seperti lingkaran setan karena biaya saat ini sangat tinggi, sementara jalur untuk perluasan terbatas," kata Rajan yang sebelumnya berprofesi sebagai seorang konsultan bisnis. 

Dia memerlukan investasi US$10 juta untuk pendanaan atau menutup perusahaannya. "Para investor merasa bahwa program '30 by 30' sudah mati."

Pengalaman Singapura, termasuk kesulitan akibat keterbatasan teknologi dan pasar domestik yang kecil, menjadi bahan pembelajaran bagi negara-negara kecil lain yang ingin meningkatkan ketahanan pangan di saat terjadi ketegangan geopolitik dan perubahan iklim, dua faktor yang terus mengancam pasokan pangan. 

Situasi di Singapura ini juga mengungkap keterbatasan pertanian perkotaan. Badan Pangan Singapura (SFA) mengakui tantangan yang dihadapi para petani seperti biaya operasional yang tinggi dan permintaan yang kecil, tapi mereka mengatakan ada bantuan yang sudah disediakan. 

Dalam surat elektronik, badan ini menyebut sektor pertanian dan perikanan negara itu masih "realtif stabil" di angka 250 sejak 2019. 

"Visi '30 by 30' adalah ambisi yang besar tetapi sangat penting," kata SFA.

Pertanian Singapura. (Dok: Bloomberg)

Gerakan pembangunan Singapura sejak merdeka pada 1965 menyebabkan pertumbuhan gedung tinggi dan proyek gedung perumahan di berbagai lokasi, sehingga pemilik lahan kecil pun tersingkir. 

Ketika Singapura berubah menjadi pusat jasa keuangan, industri pertanian menjadi korban. Kini, sejumlah kecil lahan yang diperuntukkan untuk pertanian--sekitar 1% dari total wilayah negara--harus didapat melalui lelang dengan hak menyewa selama 20 tahun. 

Singapura, yang memiliki penduduk hampir enam juta, pun harus mengimpor sebagian besar pangan yang sering kali berasal dari wilayah yang jauh dari negara itu. 

Hal ini membuat Singapura lebih rentan ketika terjadi situasi mengejutkan seperti pandemi global atau bencana alam yang mengganggu transportasi atau mengurangi pasokan pangan dari wilayah lain. 

Singapura impor sayuran. (Dok: Bloomberg)

Pemerintah tidak menyembunyikan sumber permasalahan--kesenjangan antara lahan dan permintaan. Mereka berencana untuk menggandalkan teknologi dalam menutup kesenjangan itu. 

Singapura membentuk dana penelitian benilai US$230 juta pada 2019 untuk mendukung program "30 by 30" yang dikhususkan untuk memfasilitasi inovasi solusi pertanian. 

Pemerintah negara ini juga menganggarkan dana sebesar US$44,6 juta pada 2021 untuk membantu pertanian di sektor tekonologi dan perluasan--dan diperkirakan separuh dari dana itu telah didistribusikan di akhir April lalu. 

Bagi para petani Singapura, pendanaan di sektor teknologi tidak memecahkan masalah-masalah lain yang lebih praktis. 

"Menjalankan pertanian di sini tidak bisa berkelanjutan," kata Kai Wong, yang membudidayakan ikan dari platform kayu di lepas pantai Singapura. "Jika tidak menghasilkan produk, sangat sulit untuk menemukan dan menerapkan teknologi baru."

Untuk memicu permintaan akan produknya dan ikan-ikannya dibeli, Wong harus mengembangkan bisnis lain di luar budi daya perikanan dengan mendirikan restoran dan warung makanan laut. 

Turun 90%

Data dari perusahaan Dana Ventura AgFunder menunjukkan bahwa akibat penurunan global di sektor pendanaan pribadi menyebabkan nilai kesepakatan di sektor pangan dan pertanian Singapura turun 90% dari puncaknya pada 2021. Pada 2023 nilai kesepakatan investasi di sektor ini hanya mencapai  US$139 juta. 

Apollo Aquaculture Group, yang disebut-sebut sebagai perusahaan budi daya perikanan terbesar yang didukung Temasek Holdings Pte, kini berada di bawah administrasi pengadilan. Sustenir, pertanian vertikal yang juga didukung oleh investor lembaga kelas kakap, akan mulai meraih profit dalam enam bulan ke depan setelah bertahun-tahun merugi. 

Chia Song Hwee, CEO Temasek International Pte, mengatakan investasi dari perusahaan-perusahaan  pemerintah belum mundur dari sektor ini, tetapi kesempatannya menurun.

Pertanian Singapura. (Dok: Bloomberg)

Para petani dan eksekutif perusahaan pertanian juga menunjuk pada keruwetan birokrasi Singapura. 

David Tan, Direktur Utama Netatech, memperkirakan dalam kasus ekstrem diperlukan persetujuan dari 10 badan untuk mendapat satu izin pertanian. Dia mengatakan prosesnya bisa sangat "menyulitkan."

Victoria Yoong, yang mendirikan Atlas Aquaculture bersama suaminya pada 2019, harus menunggu setahun untuk mendapat izin menjual ikan produksi mereka. Proses panjang itu menyebabkan kolam penyimpan penuh dengan ikan yang memiliki berat badan dua kali lipat dari yang diminati konsumen. 

"Bagaimana saya mengatakan kepada para investor dengan yakin bahwa bertani di sini bagus?" katanya. "Kami ingin punya hak dasar di sini, tetapi pemerintah kami tidak mendukung saya."

Selain itu, lambatnya kemajuan program "30 by 30" disebabkan juga oleh keberhasilan Singapura mendiversifikasi pasokan pangan yang merupakan bagian gerakan nasional meningkatkan ketahanan. 

Sebagai pelabuhan utama, Singapura mendapat pasokan makanan dari berbagai negara--ayam dari Turki hingga daging domba dari Spanyol. Selain itu, banyak juga produk pangan murah dari negara tetangga. Hal ini sering kali membuat konsumen memiliki banyak pilihan.

Mark Lee, yang harus menutup pertanian di atap rumah tahun lalu, mengatakan situasi ini membuat permintaan akan produk pangan lokal yang lebih mahal pun kurang. 

Dia mengatakan tidak satu pun supermarket di Singapura mau menjual produk pertaniannya dan satu dari mereka memberi tahu agar menyebut produk itu berasal dari Malaysia. 

"Tidak ada orang yang mau membayar (produk) yang lebih mahal," ujarnya. 

Di daerah pertanian di Singapura utara, para pemiliknya berupaya keras mencari jalan agar tetap bisa beroperasi. LivFresh milik Rajan harus memberhentikan lima pegawai tahun lalu untuk mengurangi ongkos produksi dan kini hanya memanfaatkan sepertiga dari total luas lahannya. 

Yoong dari Atlas Aquaculture mengatakan sedang mempertimbangkan pindah ke negara lain seperti Indonesia, Malaysia atau Australia. Mendirikan perusahaan pertanian di Singapura adalah "keputusan terburuk sepanjang masa," kata Yoong. 

"Apakah saya masih ingin jadi petani? Ya. Apakah saya masih ingin menjadi petani di Singapura? Tidak," kata Yoong.

(bbn)

No more pages