Dibandingkan negara ASEAN lain, ketergantungan RI pada China adalah yang terbesar. Persentase ekspor RI ke China terhadap total ekspor mencapai 22,47% pada semester 1-2024. Pada saat yang sama, negara ASEAN lain jauh lebih kecil angkanya. Malaysia hanya 12,04%, Filipina 11,15% dan Thailand 10,58%.
Ketika ekonomi Negeri Tirai Bambu itu lesu, dampaknya bisa panjang ke kinerja ekspor domestik. Ini yang terlihat pada data perdagangan terakhir. Ekspor RI pada Juni hanya tumbuh 1,17% year-on-year, bahkan ketika harga komoditas di pasar global tengah rebound.
Kinerja ekspor Indonesia sejauh ini juga tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga yang berhasil mencetak pertumbuhan lebih tinggi. Padahal ekspor menyumbang pertumbuhan ekonomi dengan andil lebih dari 20% pada kuartal 1-2024. "Ketergantungan yang besar pada China menjadi salah satu penyebab ekspor melambat karena di sana sedang lemah ekonominya," kata Faisal.
Ekspor barang ke China terkontraksi -4,2% di kuartal II terutama ekspor komoditas besi dan baja yang anjlok 26,9%. Pada saat yang sama, impor RI pada Juni tumbuh lebih tinggi yakni 7,58% year-on-year, terutama dipicu oleh lonjakan pengiriman barang dari Tiongkok.
Badan Pusat Statistik mencatat, impor RI dari China mencapai US$32,44 miliar selama Semester 1-2024, naik 8,21% dibanding periode yang sama tahun lalu. Nilai impor dari China itu setara dengan 35,41% dari total impor Indonesia Impor dari China didominasi oleh tekstil dan produk tekstil (TPT) yang melonjak hingga 35,5% kuartal lalu, berandil hingga 41,3% dari total impor TPT Indonesia.
Lonjakan impor dari China itu juga dipengaruhi situasi di negeri tersebut di mana aktivitas industri yang berorientasi ekspor masih tinggi ketika permintaan domestik mereka lesu. Alhasil, terjadi situasi oversupply di dunia akibat barang-barang produksi China yang tak terserap pasar dalam negeri mereka, termasuk ke Indonesia.
"Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasar ekspor dan mengurangi ketergantungan berlebihan pada satu mitra dagang untuk meningkatkan ketahanan ekonomi. Strategi itu dapat membantu memitigasi risiko dan meningkatkan stabilitas pertumbuhan ekspor dalam jangka panjang," kata Faisal.
Selain faktor China, perekonomian RI juga menghadapi risiko terdampak perlambatan ekonomi Amerika Serikat (AS). Upaya pengetatan moneter yang berlangsung sejak 2022 lalu telah memperlambat ekonomi terbesar di dunia itu.
Meski hal tersebut membuka peluang lebih besar bagi pelonggaran moneter yang bisa memberi daya ungkit pada rupiah, posisi AS sebagai salah satu mitra dagang penting akan berdampak bila pelemahannya membuat permintaan ekspor kesana turun.
Konsumsi melemah
Faktor lain yang membebani laju ekonomi domestik adalah indikasi pelemahan konsumsi rumah tangga, mesin utama perekonomian RI saat ini. Indeks Penjualan Riil turun 1% pada kuartal II.
Indikator lemahnya konsumsi masyarakat juga terlihat dari realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sejak awal tahun hingga Mei 2024, PPN terkontraksi -6%, dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya yang masih tumbuh positif 21%. Melihat nominal, realisasi PPN baru mencapai 34,8% pada Mei, lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 40,50%.
Kelesuan konsumsi rumah tangga yang sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun lalu, ditengarai juga akibat periode bunga tinggi yang menyedot pengeluaran lebih banyak ke cicilan utang. "Rata-rata suku bunga dasar kredit, terutama untuk pinjaman KPR dan non-KPR, telah banyak mengalami penyesuaian, dengan suku bunga non-KPR lebih tinggi. Sementara pinjaman rumah tangga KPR memiliki proporsi besar, mencapai 33% dari total kredit konsumsi," demikian dipaparkan CORE.
Nilai tabungan masyarakat pada akhirnya ikut tersedot terindikasi dari perlambatan pertumbuhan simpanan di bawah Rp100 juta yang hanya naik 4,1% pada April setelah tumbuh 7,8% pada bulan sebelumnya. Pelemahan konsumsi itu terjadi sejalan dengan minimnya peningkatan upah. Upah riil pada 2023 terkontraksi, sedangkan tahun ini mulai positif tapi lemah hanya tumbuh 0,7% year-on-year.
Gelombang PHK yang makin tinggi sepanjang tahun ini makin menyudutkan kinerja konsumsi rumah tangga. Industri manufaktur yang belum pulih pascapandemi ditambah banjir barang impor China membuat badai PHK semakin buruk.
Dengan kombinasi berbagai faktor tersebut, sulit bagi perekonomian domestik membukukan pertumbuhan melampaui kuartal 1 lalu. Beruntung, komponen pembentuk PDB lain masih mampu tumbuh positif seperti konsumsi LNPRT dan belanja pemerintah seturut hajat Pemilu dan Pilpres 2024 pada Februari lalu. Pertumbuhan investasi yang masih moderat juga memberi dorongan. "Kami perkirakan, pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal II-2024 ada di kisaran 4,9%-5%," kata Faisal.
Hasil survei terakhir yang dilakukan oleh Bloomberg terhadap 36 ekonom pada Juni, memperkirakan, pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2024 diperkirakan tumbuh 3,73% secara kuartalan setelah mengalami kontraksi pada kuartal 1-2024 sebesar -0,83%.
Namun, pada kuartal III-2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi melemah lagi, hanya tumbuh 1,6% quarter-to-quarter dan pada kuartal terakhir tahun ini diperkirakan hanya tumbuh 0,44%.
Alhasil, sepanjang 2024, Produk Domestik Bruto RI diprediksi hanya tumbuh 5% pada 2024, melambat dari capaian tahun lalu di angka 5,05%. Lalu pada 2025 dan 2026, Indonesia diprediksi sedikit bangkit dengan pertumbuhan di 5,1%. Meski begitu, "potensi resesi ekonomi di Indonesia dalam 12 bulan ke depan angkanya 0%," kata 11 ekonom yang disurvei.
(rui/roy)