Adapun, penundaan perhitungan penerimaan bagian negara akibat penyesuaian HGBT pada 2021 mencapai Rp16,46 triliun, dan pada tahun lalu senilai Rp 12,93 triliun.
Plt. Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito tidak menampik masih terdapat sejumlah catatan dalam implementasi penyaluran HGBT terhadap 267 pelaku industri dari ketujuh sektor tersebut.
“Berdasarkan kajian kami bersama LPEM UI, [serapan HGBT di] beberapa industri memang belum optimal. Kami menyoroti industri keramik dan pupuk mendominasi penggunaan HGBT dan mereka menunjukkan kinerja positif dan signifikan. Sektor yang lainnya penting untuk dievaluasi karena pada waktu [kebijakan HGBT ditetapkan] sedang pandemi Covid, sehingga utilitas [pabrikan] mereka belum optimal,” ujarnya pada kesempatan yang sama.
Secara terperinci, dia menjabarkan sektor industri pupuk mengalokasikan penggunaan HGBT sebanyak 858 bbtud, diikuti keramik sebanyak 130 bbtud, petrokimia 94 bbtud, baja 76 bbtud, kaca 56 bbtud, oleokimia 40 bbtud, sedangkan sarung tangan karet hanya 1,2 bbtud.
“Kalau kita melihat kendala yang disampaikan, masih terdapat 3 kelompok industri yang menerima gas bumi dengan harga di atas US$ 6/MMBtu. Ini kami monitor dan usulkan [ke Kementerian ESDM] agar mereka bisa diselaraskan dengan penetapan HGBT,” kata Warsito.
Kendala lainnya adalah masih terdapat kelompok industri yang mengalami pembatasan pasokan gas bumi di bawah volume kontrak. Lalu, lanjutnya, terdapat juga sekitar 100 industri lain yang membutuhkan HGBT tetapi belum menerima gas seharga US$ 6/MMBtu.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan Kemenperin telah berkoordinasi dengan Kementerian ESDM untuk membenahi Peraturan Menteri ESDM No. 15/2022 tentang Tentang Tata Cara Penetapan Pengguna Gas Bumi Tertentu dan HGBT di Bidang Industri. ·
“Kami sudah berkoordinasi dengan Dirjen Migas terkait dengan keluarnya Permen ESDM No. 15/2022 dan ini sudah difiinalisasi. Kami harapkan ini bisa didukung agar [HGBT] periode April, Agustus, dan Desember bisa cepat ditetapkan. Kebijakan HGBT iini sangat baik, tetapi konsistensi dan keberlanjutan industri [perlu dievaluasi],” ujar Warsito.
Usulan DMO
Pada kesempatan yang sama, Warsito menerangkan, pada 2021, total produksi gas nasional mencapai 6.656 bbtud. Adapun, alokasi untuk kebutuhan inndustri mencapai 39,4% dari produksi, yang terbagi atas 27,5% atau 1.830 bbtud untuk industri dan 11,9% atau 792 bbtud untuk bahan baku industri pupuk.
Guna memastikan pasokan gas bumi untuk mendorong penghiliran industri berbasis migas, lanjutnya, Kemenperin mengusulkan kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk gas bumi. Usulan tersebut tengah dirumuskan untuk menjadi sebuah peraturan pemerintah (PP).
“Besaran DMO memperhitungkan total penggunaan gas di dalam negeri untuk industri pupuk, kelistrikan, ditambah 60% dari total ekspor LNG itu setara dengan 902,5 bbtud atau setara dengan pembangunan 10 pabrik pupuk berkapasitas 1 juta ton per tahun. Dengan demikian, kita butuh DMO sebesar 4.279 bbtud,” ujarnya.
(wdh)