Untuk mencapai kesimpulan mereka, Kok dan rekan penulisnya memulai dengan menggunakan pengukuran satelit dan darat untuk mengukur partikel mineral mikroskopis di udara. Mereka menemukan total 26 juta ton debu atmosfer yang setara dengan berat sekitar 5 juta gajah Afrika. Mereka juga mengumpulkan data dari inti es, sedimen laut, dan rawa gambut untuk memahami penumpukan debu atmosfer dari waktu ke waktu. Sejak pertengahan 1800-an, mereka menemukan, jumlah debu telah meningkat sebanyak 55%.
Para peneliti kemudian menganalisis bagaimana debu atmosfer berinteraksi dengan awan, lautan, sinar matahari, dan daratan, yang memainkan peran berbeda dalam perubahan suhu. Misalnya, debu di atas gurun memantulkan sinar matahari sehingga menghasilkan pemanasan, namun debu atmosfer dapat menyebarkan sinar matahari, menutupi awan, dan menyimpan nutrisi seperti besi dan fosfor ke laut.
Nutrisi tersebut membantu meningkatkan pertumbuhan fitoplankton yang menyerap karbon dioksida. Semua dampak ini menjadi faktor dalam kesimpulan para peneliti bahwa debu atmosfer “mendinginkan iklim”.
“Penelitian ini penting karena berupaya untuk menemukan efek debu pada energi yang masuk dan keluar dari sistem iklim, dan bagaimana efek tersebut berubah dari waktu ke waktu,” kata Anthony Broccoli, profesor spesialis ilmu atmosfer di Universitas Rutgers yang tidak terlibat dalam penelitian. Dia tidak mengharapkan temuan untuk secara substansial mengubah proyeksi iklim di masa depan, tetapi hai ini bisa memberikan sebuah target bagaiman debu direpresentasikan dalam model iklim.
Implikasi studi tersebut bukan mengatakan bahwa debu atmosfer itu baik, atau bahwa negara-negara harus berbalik arah dalam menghentikan erosi tanah, yang merupakan kontributor utama proliferasinya. Meningkatnya debu di udara menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan manusia, dan lahan yang terdegradasi berkontribusi terhadap kerawanan pangan. Para peneliti bertujuan untuk menjelaskan fakta bahwa perubahan debu atmosfer saat ini tidak diperhitungkan dalam pemodelan iklim.
“Kami ingin proyeksi iklim seakurat mungkin dan peningkatan debu ini dapat menutupi hingga 8% pemanasan rumah kaca,” kata Kok.
(adm/bbn)