Yunus menjelaskan kasus ini contoh yang pernah terjadi saat para pekerja migran misalnya di Hong Kong akan mengirimkan uang kepada keluarga mereka misalnya ke Jawa Timur. Lalu pelaku TPPU menawarkan menyampaikan uang itu. Jumlah pekerja migran kata dia bisa ratusan ribu orang. Oleh karena itu jumlahnya amat besar.
"Ada waktu tertentu pernah mereka mau kirim uang ternyata dimanfaatkan oleh mafia narkotika di Hong Kong yang punya link yang ada di Malang. 'Sini saya bantu kirimin duitnya pasti nyampe kok'. Maulah si TKI kita ini. Uangnya sampai ke keluarganya. Tapi sebenarnya uang yang dikirim itu bukan uang si pekerja migran tadi. Yang dikirim itu uang hasil narkotika yang dikasih ke orangtuanya," kata dia.
Dengan modus ini maka berpindahlah uang tersebut yakni menumpangi pihak lain dalam hal ini para tenaga kerja Indonesia (TKI).
Ketiga, modus exploiting international jurisdiction issues.
Modus ini dilakukan dengan cara memanfaatkan kebodohan otoritas atau pihak negara lain dalam mendirikan perusahaan hingga membuat pajak selonggar-longgarnya. Kasus ini antara lain yang pernah terjadi di Panama Papers.
"Nah ini cukup banyak juga orang dari Indonesia punya perusahaan di dalam Panama Papers itu ada nama menteri, pejabat, ada menko, segala macam. Kalau orang kita buat perusahaan di luar pengalaman saya, (mereka) belum tentu ekspansi, bisa transfer pricing," lanjut dia.
Keempat, modus menggunakan identitas atau dokumen palsu.
Modus ini termasuk yang banyak terjadi di Indonesia karena sistem administrasi kependudukan yang belum rapi. Bahkan seseorang bisa memiliki sejumlah nomor induk kependudukan alias KTP. Hal ini memudahkan mereka melakukan kejahatan TPPU.
Tapi sebenarnya uang yang dikirim itu bukan uang si pekerja migran tadi. Yang dikirim itu uang hasil narkotika yang dikasih ke orangtuanya
Pakar Hukum Perbankan Yunus Husein
"Buat KTP palsu gampang, buat kependudukan palsu gampang. Alamat rumah, segala macam itu kan di Indonesia tidak terstruktur secara sistematis. Jarang nomor rumah yang urutannya benar gitu kan. Ini mempersulit bisnis, mempersulit juga penyelidikan. Orang cari jadi susah. Ini banyak terjadi," kata Yunus Husein.
Dia mencontohkan modus yang dilakukan dalam kasus Malinda Dee, seorang bankir yang pernah terjerat kasus menggelapkan uang nasabah dan melakukan pencuciang uang. Malinda sewaktu menjadi Senior Relationship Manager Citibank membobol 34 rekening nasabah bank itu senilai Rp 46,1 miliar. Dia kemudian dijatuhi vonis penjara 8 tahun.
"Dia (Malinda Dee) menikah lagi dengan Andika Gumilang, anak muda umur 20 tahun. Andika ini KTP-nya ada 7, bayangin," imbuh dia.
Kelima, modus anonymous asset type. Modus ini dilakukan dengan aset-aset tanpa nama. Cara TPPU ini kata dia juga disebut banyak terjadi di Indonesia.
"Aset-aset tanpa nama seperti uang, emas batangan, makanan. Seperti kasus (Rafael) Alun itu kan uang tunai ditaruh di safe deposit. Nah safe deposit ini termasuk high risk product dari perbankan sekarang karena banyak dimanfaatkan oleh para pelaku kriminal," ujar dia.
Diketahui Rafael Alun Trisambodo merupakan tersangka kasus korupsi. Dia ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus gratifikasi dengan nilai puluhan miliar rupiah.
Yunus Husein melanjutkan, 5 modus tersebut merupakan modus utama. Namun modus lain masih banyak dan pola kejahatan ini kata dia terus berkembang. Sebagai contoh, ada juga modus yang mencampur uang kejahatan dengan uang yang sah. Hal ini dilakukan dengan membuat berbagai macam usaha seperti pertenakan, pom bensin hingga kebun binatang.
"Nah pas ditanya, dari mana duitnya? Saya usaha, bukan korupsi. Ini termasuk modus yang cukup banyak. Kasus-kasus TPPU ini kebanyakan mereka dicampur seperti itu. Kayak sekretaris MA itu, dia bilang saya usaha burung walet," kata Yunus soal kasus korupsi dan TPPU mantan Sekretarias MA Nurhadi.
(ezr)