Logo Bloomberg Technoz

Mengutip riset McKinsey & Company berjudul McKinsey Mobility Consumer Pulse edisi Juni 2024, sebanyak 29% pemilik mobil listrik mempertimbangkan untuk kembali ke mobil BBM tradisional. 

Sebagai informasi, survei McKinsey melibatkan lebih dari 3.000 responden di 15 negara. Survei ini mencakup lebih dari 80% penjualan mobil dunia.

Negara dengan responden terbanyak yang menjawab ingin kembali ke mobil BBM adalah Australia, dengan 49%. Disusul oleh Amerika Serikat/AS (46%) dan Brasil (38%).

Alasan tertinggi bagi mereka yang ingin kembali ke mobil BBM adalah fasilitas pengisian listrik yang belum memadai (35%). Lainnya adalah biaya perawatan yang mahal (34%) dan kesulitan berkendara dalam jarak jauh (32%).

Sumber: McKinsey & Company

“Situasi ekonomi terkini juga sangat mempengaruhi pembelian mobil,” sebut riset McKinsey.

Dengan kondisi ekonomi saat ini, seperti inflasi yang tinggi, membuat konsumen melakukan penyesuaian. Ini pun terkait keputusan membeli mobil listrik.

Terungkap bahwa sebanyak 44% responden memutuskan untuk menunda beralih ke mobil listrik. Sementara 58% responden memilih untuk terus menggunakan mobil yang sudah dimiliki.

Sumber: McKinsey & Company

Bagi pemilik mobil BBM, sebagian besar masih tidak ingin beralih ke mobil listrik. Namun persentasenya memang kian menyusut.

Alasan yang paling utama adalah harga mobil listrik yang terlampau mahal (45%). Diikuti oleh sulitnya pengisian daya (33%) dan jarak tempuh (29%).

Sumber: McKinsey & Company

Namun tidak cuma soal mobil listrik versus mobil BBM. Ternyata tidak sedikit orang yang ingin mengubah moda transportasi mereka seutuhnya, tidak mau lagi menggunakan mobil.

Atas pernyataan “dalam 10 tahun saya akan mengganti mobil pribadi dengan moda transportasi lain”, sebanyak 29% responden menyatakan setuju. Sebanyak 18% setuju dan 11% sangat setuju.

Alasan terbanyak adalah karena biaya pemilikan mobil menjadi terlalu mahal (30%). Disusul oleh keinginan menjalani hidup berkelanjutan (29%) dan sudah bekerja dari rumah (24%).

Sumber: McKinsey & Company

(aji)

No more pages