Sektoral saham energi, saham perindustrian, dan saham transportasi jadi yang tertinggi kenaikannya pada hari ini, menguat mencapai 1,51%, 1,29%, dan 1,04% secara masing-masing. Disusul oleh saham properti yang meningkat 0,77%.
Sejumlah saham yang menguat tajam dan menjadi top gainers antara lain PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA) yang melonjak 34,8%, PT Megapolitan Developments Tbk (EMDE) yang melesat 34,3%, dan PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) yang melejit 19,7%.
Kemudian saham-saham yang melemah dalam dan menjadi top losers di antaranya PT Mitra Pack Tbk (PTMP) yang anjlok 33,7% PT Indo American Seafoods Tbk (ISEA) yang jatuh 25%, dan PT Aesler Grup Internasional Tbk (RONY) yang ambruk 12,9%.
Sementara index saham utama Asia kompak menapaki jalur merah. Pada pukul 16.40 WIB, TW Weighted Index (Taiwan), PSEI (Filipina), Topix (Jepang), Nikkei 225 (Tokyo), KOSPI (Korea Selatan), KLCI (Malaysia), Ho Chi Minh Stock Exchange (Vietnam), CSI 300 (China), Shanghai Composite (China), SETI (Thailand), Straits Times (Singapura), SENSEX (India), dan juga Shenzhen Comp. (China), yang anjlok masing-masing 2,68%, 1,17%, 1,16%, 1,16%, 1,14%, 0,88%, 0,80%, 0,68%, 0,61%, 0,58%, 0,30%, %, 0,10%, dan 0,06%.
Di sisi berseberangan hanya ada dua index yang berhasil menguat, dipimpin oleh Hang Seng (Hong Kong) yang terbang 1,25%, dan IHSG (Indonesia) dengan kenaikan 0,38%.
Bursa Saham Asia lain yang terbenam di zona merah tersengat kabar mundurnya Presiden Joe Biden dari Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2024. Petahana berusia 81 tahun itu tidak lagi menjadi Calon Presiden dari Partai Demokrat, dan juga dari prospek kebijakan suku bunga acuan Federal Funds Rate.
Seperti yang diwartakan Bloomberg News, saat ini, Biden masih akan tetap menjalankan tugasnya sebagai Presiden, tetapi memutuskan untuk mendukung Wakil Presiden Kamala Harris untuk maju bertarung dengan Donald Trump pada November mendatang.
Keputusan mengejutkan ini diumumkan Biden setelah desakan mundur yang disuarakan internal Partai Demokrat semakin kencang karena partai tersebut khawatir Biden tidak mampu mengalahkan rivalnya dari Partai Republik, Donald Trump.
“Dalam jangka pendek, potensi pemotongan suku bunga The Fed akan mendominasi pasar, yang berpotensi melemahkan dolar dan menyebabkan komoditas dan mata uang negara berkembang menguat. Ini, dikombinasikan dengan bias risiko yang lebih luas terkait dengan ‘The Trump Trade’, menyiapkan pasar untuk tahun 2025 yang spektakuler, dan kami percaya pasar negara berkembang bisa menjadi penerima manfaat utama dari hal itu,” kata Jennifer Gorgoll, Manajer Portofolio di Neuberger Berman LLC.
Sementara aset-aset pasar negara berkembang (Emerging Market) mengalami kesulitan di tengah kekhawatiran akan tarif perdagangan yang lebih tinggi, meningkatnya ketegangan AS-China, dan kebijakan fiskal AS yang lebih longgar.
Dalam wawancara dengan Bloomberg Businessweek di bulan lalu, Trump menegaskan bahwa dolar AS yang kuat akan mengurangi daya saing Negeri Adikuasa di pasar global. Pernyataan senada kemudian juga dilontarkan oleh JD Vance, Calon Wakil Presiden yang akan mendampingi Trump dalam Pilpres 2024 kali ini.
Meneriknya, sentimen berikutnya datang dari The Fed, mengutip CME FedWatch Tools sore ini, peluang pemangkasan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,00–5,25% mencapai 95,5%.
Gubernur Jerome Powell dan kolega pun kemungkinan masih akan menurunkan suku bunga acuan 25 bps lagi pada November, probabilitasnya adalah 53,8%.
Tidak selesai sampai di situ, suku bunga acuan AS masih bisa turun lagi 25 bps pada Desember dengan kemungkinan 47,6%. Artinya, bukan tidak mungkin suku bunga bakal dipangkas tiga kali atau 75 bps ke 4,50–4,75% sampai tutup tahun.
Kepala Grup Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Ramdan Denny mengatakan kondisi pilpres AS 2016 berbeda dengan tahun ini ini. Kala itu, dalam berbagai survei Donald Trump dinyatakan kalah dengan Hilarry Clinton.
Namun kini, kondisinya berbeda. Beberapa survei sudah menyebut Trump bisa mengalahkan Joe Biden. Meskipun Biden mundur dalam kontestasi, dan digantikan Kamala Harris, hasilnya tidak akan mengejutkan pasar.
Justru yang paling dicermati pasar saat ini adalah suku bunga acuan Bank Sentral Federal Reserve. Banyak pelaku pasar yang optimistis The Fed akan menurunkan FFR jelang tutup tahun ini bahkan hingga dua kali. Hal ini dikarenakan inflasi AS sudah terkendali menuju target 2%.
"The Fed diprediksi akan menurunkan suku bunga acuan mulai September. Langkah ini akan diikuti oleh negara maju. Kapan? Mungkin tahun depan. Uni Eropa sudah menurunkan kemarin," terang Ramdan Denny.
Sentimen ini telah membuat banyak pelaku opitimistis akan kondisi dan prospek ekonomi yang membaik. Hal ini mendorong masuknya arus modal asing (Capital Inflow) ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
(fad/wep)