Logo Bloomberg Technoz

Terlebih, Eramet telah memutuskan untuk mencoba mematuhi standar Initiative for Responsible Mining Assurance [IRMA], yang dikenal sebagai standar yang paling tinggi dalam aktivitas pertambangan di dunia.  

Saat ini, Eramet juga sedang dalam proses untuk mematuhi IRMA untuk pertambangan PT Weda Bay Nickel, yang merupakan perusahaan patungan antara Eramet, Tsingshan Group, dan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM) atau Antam. 

“Jadi, dengan adanya kemauan dari pemerintah, ditambah komitmen dari beberapa pemain besar seperti Eramet, saya kira ini membuat saya optimistis terhadap kemampuan Indonesia untuk menjawab tantangan ini,” imbuhnya.

Sekadar catatan, sebuah riset dari Centre for Research on Energy and Clean Air (Crea) bertajuk Debunking the Value-added Myth in Nickel Downstream Industry memproyeksikan kerugian ekonomi tahunan dari dampak kesehatan akibat polusi udara yang berkaitan dengan hilirisasi nikel mencapai US$5,69 miliar atau setara Rp88,2 triliun pada 2060.

Riset tersebut menganalisis adanya risiko beban ekonomi yang diakibatkan oleh polusi udara, khususnya di fasilitas hilirisasi nikel, yakni dari pembangkit listrik kawasan atau captive power plant dan pengolahan logam berbasis batu bara.

Dalam kaitan itu, pembangkit listrik kawasan atau captive power plant mewakili pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive, generator diesel, dan pembangkit captive berbahan bakar gas yang dioperasikan secara eksklusif untuk menghasilkan listrik untuk menggerakan operasi produsen nikel yang beroperasi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.

Sementara itu, pabrik pengolahan atau smelter logam berbasis batu bara mewakili fasilitas atau sumber titik di mana proses metalurgi untuk pemurnian dan pembuatan logam berlangsung, yang dalam hal adalah fasilitas peleburan pada seluruh produsen nikel yang beroperasi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara.

Dalam hitungannya, Crea melaporkan total kerugian ekonomi tahunan akibat polusi udara yang terkait dengan emisi pengolahan logam dan pembangkit listrik yang dievaluasi pada kegiatan provinsi tersebut diperkirakan mencapai US$148 juta atau setara Rp2,29 triliun pada 2020 dan diproyeksikan meningkat hampir 18 kali lipat menjadi US$2,63 miliar atau Rp40,7 triliun pada 2025.

Di lain sisi, Faour menilai Indonesia memiliki beberapa kekuatan untuk melaksanakan program hilirisasi nikel, seperti ketersediaan sumber daya nikel, pengetahuan tentang pertambangan dan transformasi, serta pasar di dalam negeri.

“Negaranya besar, populasinya besar, jadi ada pasar internal, pasar potensial, dan akan selalu lebih mudah untuk mengembangkan rantai nilai ketika bisa memiliki pasar sendiri,” ujarnya. 

(dov/wdh)

No more pages