Dalam hal ini, Eramet menganggap Indonesia sudah memainkan peran kunci dalam pasar nikel dengan adanya pengelolaan sumber daya dan pengembangan kapasitas yang berjalan sangat cepat.
Selain untuk baterai EV, Faour mengatakan, nikel juga dibutuhkan untuk baja nirkarat, yang juga masih menjadi industri pengguna utama nikel.
“[Permintaan untuk baja nirkarat] sedang tumbuh, tidak secepat baterai, tetapi terus tumbuh. Ini juga adalah pasar yang sangat penting. Mungkin akan naik turun, tetapi yang umum perkembangan dunia membutuhkan stainless steel,” ujarnya.
Sekadar catatan, nikel di London Metal Exchange (LME) diperdagangkan pada level US$16.256/ton pada penutupan perdagangan Jumat, turun 1,02% dari hari sebelumnya, dan makin mendekati level terendah pada tahun ini, yakni US$15.921/ton pada Februari.
Adapun, level harga tersebut berada di bawah proyeksi yang disampaikan BMI –lengan riset dari Fitch Solutions Company – yang memproyeksikan harga berada pada level US$18.000/ton.
Kalangan ahli pertambangan menilai penurunan harga nikel yang diperdagangkan di LME hingga ke level tersebut terjadi karena adanya penurunan permintaan dari China.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan penurunan permintaan China berkaitan dengan perekonomian Negeri Panda yang belum pulih.
Sekadar catatan, produk domestik bruto (PDB) China hanya tumbuh 4,7% pada kuartal II-2024 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, atau merupakan laju terburuk dalam lima kuartal.
Kendati demikian, Indonesia juga turut memberikan andil dalam penurunan harga nikel tersebut.
Terlebih, kata Rizal, produksi nikel dari Indonesia sudah mencapai di atas 1,7 juta ton pada 2023 dan diperkirakan meningkat lagi pada 2024 dan tahun selanjutnya karena beberapa smelter sudah masuk ke tahap produksi komersial dan berpotensi menambah pasokan nikel ke pasar global.
“Penurunan harga ini lebih disebabkan oleh permintaan dari China saat ini yang menurun sehingga terjadi oversupply,” ujar Rizal.
(dov/wdh)