Bloomberg Technoz, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengkritik kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memecat lebih dari 100 guru honorer di wilayahnya. DPR pun meminta Kemendikbud untuk segera meminta penjelasan kepada Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
Wakil ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf menilai kebijakan yang disebut sistem cleansing atau pembersihan tersebut tak humanis.
"Cleansing itu kata yang terlalu sadis, cleansing itu kan pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh!" kata Dede Yusuf dikutip dari laman DPR, Ahad (21/7/2024). “Kemendikbudristek harus segera mengklarifikasi dengan Dinas Pendidikan Jakarta."
Sebelumnya, Dinas Pendidikan (Disdik) DKI mengakui telah menerapkan kebijakan cleansing terhadap setidaknya 107 guru honorer. Akan tetapi, mereka berdalih kebijakan tersebut adalah konsekuensi dan respons Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Mereka berdalih BPK menemukan peta kebutuhan guru honorer di DKI Jakarta tidak sesuai dengan Permendikbud serta ketentuan sebagai penerima honor. Disdik menilai banyak guru honorer diangkat sekolah tanpa rekomendasi dari pemprov DKI Jakarta.
Menurut Dede, meski berstatus honorer, para guru ini telah berperan dalam pendidikan anak-anak di wilayah Jakarta. Toh, kata dia, gaji guru honorer juga berasal dari bantuan operasional sekolah atau BOS.
Selain itu, Dede pun menyoroti perbedaan aturan dari Disdik Jakarta dan pemerintah soal durasi kerja atau mengajar para guru honorer. Berdasarkan aturan Kemenristek, guru honorer hanya harus bekerja selama 24 jam per minggu. Namun, dalam pelaksanannya, Pemprov memaksa pada guru honorer kerja hingga 35 jam per minggu.
“Kebijakan cleansing guru honorer bisa menyebabkan kekurangan guru di sekolah yang pada akhirnya mengganggu proses belajar mengajar. Pada akhirnya anak-anak yang akan dirugikan," ujar dia.
Menurut Dede, pemecatan guru honorer dengan istilah cleansing itu juga tidak sesuai dengan semangat yang tengah dilakukan negara terkait perbaikan nasib guru honorer. Dede mengingatkan, UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN telah menegaskan komitmen Pemerintah untuk menyelesaikan penataan tenaga non-ASN paling lambat Desember 2024.
“Artinya seharusnya nasib tenaga honorer, termasuk guru honorer, bisa membaik. Bukan justru mengalami kemunduran,” kata Dede.
Seperti diketahui, Pemerintah telah berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan tenaga honorer dengan beberapa kebijakan. Seperti pengangkatan honorer menjadi PNS atau PPPK melalui berbagai syarat dan ketentuan, dengan salah satu targetnya adalah pengangkatan sebanyak 1 juta guru honorer menjadi ASN PPPK pada tahun 2024.
“Kita berbicara tentang nasib lebih dari 100-an lebih guru yang sudah berjasa terhadap pendidikan anak-anak kita. Semestinya Pemda lebih bijaksana, tidak asal main cut seperti itu,” ujar Dede.
(red/frg)