Logo Bloomberg Technoz

Terlebih, Faour mengatakan, saat ini Indonesia tidak memiliki banyak pemain yang mencapai tingkat keberlanjutan dan ketertelusuran produk sesuai untuk masuk ke pasar EV internasional seperti Eropa dan AS. 

“Saya tidak ingin mengatakan bahwa semuanya buruk, bukan itu masalahnya, hanya saja kita saat ini, jika saya berbicara secara global tentang industri nikel baru, belum berada pada standar internasional terbaik,” ujarnya. 

Menurut Faour, Eramet —sebagai perusahaan asal Prancis— juga bisa berkontribusi untuk meningkatkan keberlanjutan dan ketertelusuran tersebut.

Terlebih, Eramet telah memutuskan untuk mencoba mematuhi standar Initiative for Responsible Mining Assurance [IRMA], yang dikenal sebagai standar yang paling menuntut terkait aktivitas pertambangan di dunia.  

Saat ini, Eramet juga sedang dalam proses untuk mematuhi IRMA untuk pertambangan PT Weda Bay Nickel, yang merupakan perusahaan patungan antara Eramet, Tsingshan Group dan PT Antam. 

“Jadi, dengan adanya kemauan dari pemerintah, ditambah komitmen dari beberapa pemain besar seperti Eramet, saya kira ini membuat saya optimistis terhadap kemampuan Indonesia untuk menjawab tantangan ini,” imbuhnya. 

Sonic Bay

Dalam kesempatan tersebut, Bruno juga membantah bahwa hengkangnya Eramet dari Sonic Bay terjadi karena isu ketertelusuran dari Eropa, yang selama ini menjadi permasalahan utama dari nikel Indonesia. 

Menurutnya, Sonic Bay justru merupakan jawaban agar hilirisasi nikel di Indonesia bisa dilacak, yakni dengan memanfaatkan nikel dan memurnikannya di dalam negeri. 

Namun, banyaknya proyek di kawasan industri Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) menjadi alasan investor Eropa tersebut hengkang. Sebab, situasi tersebut berpotensi memunculkan isu terkait dengan lahan, air, dan pasokan bijih nikel. 

“Jika memiliki banyak smelter berbasis high pressure acid leach [HPAL] di tempat yang sama, itu bisa menjadi sedikit rumit. [Proyek] membutuhkan banyak air, dan kami tidak memiliki danau besar dengan sumber daya air yang besar di sana. Bijihnya sama, ada banyak bijih, tetapi ada banyak proyek juga,” ujar Bruno

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan terdapat indikasi penyebab hengkang berkaitan dengan aturan di negara-negara maju seperti di UE yang mengeluarkan aturan European Union Due Diligence. Aturan itu bakal melacak aliran rantai pasok, yang selama ini menjadi kelemahan nikel di Indonesia.

Dengan demikian, UE bakal kesulitan untuk melacak asal-usul nikel di Indonesia karena kurangnya pendataan. Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa nikel Indonesia tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan, mulai dari lingkungan hingga keselamatan pekerja.

Dengan demikian, Bhima menilai pemerintah Indonesia harus memperbaiki seluruh tata kelola penghiliran nikel.

“Ini menjadi momentum yang krusial. Tidak boleh ada lagi kecelakaan kerja apalagi yang mengakibatkan kerugian jiwa meninggalnya para pekerja,” ujar Bhima.

(dov/wdh)

No more pages