Logo Bloomberg Technoz

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto tidak menjelaskan dengan lengkap mengenai kelanjutan proyek Sonic Bay usai ditinggal BASF dan Eramet awal pekan ini.

Namun, Seto memastikan terdapat 2 smelter HPAL yang sedang dibangun dengan kapasitas dua kali lebih besar dibandingkan dengan proyek Sonic Bay yang sedianya digarap kedua korporasi Eropa itu.

“Di Weda Bay sekarang ada 2 [smelter] HPAL yang sedang dibangun dengan kapasitas dua kali lebih besar dari proyek BASF dan Eramet,” ujar Seto kepada Bloomberg Technoz, akhir Juni.

Namun, Faour menggarisbawahi Eramet hanya berhenti dalam proyek pembangunan smelter HPAL di IWIP bersama dengan BASF SE, tetapi tidak serta-merta menganggap proyek HPAL tidak lagi dibutuhkan.

Dengan demikian, Eramet masih terus berupaya untuk melihat potensi untuk memasuki pasar HPAL melalui berbagai opsi, salah satunya melalui PT Eramet Bumi Sulawesi (EBS) selaku perusahaan patungan antara Eramet dengan Kalla group. 

“Kami tertarik pada pertambangan karena kami perusahaan pertambangan. Kami juga tertarik pada transformasi pertama, yang mungkin untuk baterai kendaraan listrik atau electric vehicle [EV] adalah HPAL. Jadi jelas, ini adalah sesuatu yang masih kami minati,” ujarnya. 

Adapun, Faour mengatakan Eramet memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan BASF SE. Merujuk pada communique, BASF SE memutuskan untuk hengkang dari Sonic Bay karena menilai bakal terdapat pasokan mixed hydroxide precipitate (MHP) –selaku produk dari smelter HPAL– yang melimpah. Sehingga, mereka bisa membeli MHP tanpa perlu melakukan investasi pada smelter HPAL. 

Bukan Gegara Isu Eropa 

Pada perkembangan lain, Faour juga membantah hengkangnya Eramet dari Sonic Bay karena isu mandatori ketertelusuran atau traceability dari Eropa yang selama ini menjadi permasalahan utama dari nikel Indonesia. 

Menurutnya, Sonic Bay justru merupakan jawaban agar hilirisasi nikel di Indonesia bisa dilacak, yakni dengan memanfaatkan nikel dan memurnikannya di dalam negeri. 

Selain itu, Bruno juga menegaskan bahwa hengkangnya Eramet dari Sonic Bay bukan karena hubungan yang buruk dengan investor China di IWIP seperti Tsingshan. 

Dalam hal ini, Eramet juga telah menginformasikan keputusannya untuk mundur dari Sonic Bay kepada pemerintah melalui Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 

Menurut Bruno, Eramet masih mendapatkan dukungan besar dari pemerintah. Eramet juga terus berdiskusi dengan pemerintah untuk menjelaskan dan melihat potensi investasi dengan cara lain selain Sonic Bay. 

“Jadi, kami mengadakan pertemuan yang sangat rutin dengan para kementerian utama yang bekerja dengan kami, dan sekali lagi, kami mendapat dukungan yang besar, dan kami berharap —itulah pesan yang kami terima dari pemerintah— bahwa kami akan terus mencoba mengembangkan bersama dengan dukungan mereka setidaknya sesuatu yang baru,” ujarnya. 

Sonic Bay merupakan proyek smelter nikel-kobalt untuk bahan baku baterai EV yang pada awalnya ditargetkan untuk berproduksi pada 2026. 

Sayangnya, BASF SE dan Eramet SA selaku investor justru menyatakan hengkang dari proyek dengan nilai investasi sebesar US$2,6 miliar (sekitar Rp42,64 triliun asumsi kurs saat ini) tersebut, hanya selang setahun setelah digadang-gadang pemerintah.

Kedua investor Eropa itu padahal telah menargetkan bakal membuat keputusan investasi final atau final investment decision (FID) dari proyek Sonic Bay pada semester I-2024.

Proyek smelter HPAL Sonic Bay pada awalnya dirancang untuk memproses sebagian bijih dari tambang Weda Bay Nickel demi menghasilkan produk antara nikel dan kobalt, yakni sekitar 60.000 ton nikel dan 6.000 ton kobalt yang terkandung dalam endapan campuran hidroksida yang dikenal sebagai mixed hydroxide precipitates (MHP), sebagai bahan baku baterai EV. 

(dov/wdh)

No more pages