Pemerintah menargetkan penyerapan Rp 17 triliun dan nilai penyerapan maksimal Rp 25,5 triliun. Target itu lebih rendah dibandingkan lelang-lelang sebelumnya yang berkisar Rp 20 triliun (indikatif) hingga Rp 30 triliun (maksimal). Pemerintah agaknya masih melanjutkan strategi pembatasan suplai SBN di pasar untuk menjaga pergerakan harga.
Dalam lelang-lelang sebelumnya, nilai penyerapan ditetapkan jauh di bawah nilai penawaran yang masuk. Terakhir, dalam lelang sukuk 4 April lalu pemerintah hanya menyerap Rp 9 triliun dari nilai penawaran masuk yang mencapai Rp 25 triliun.
Dalam lelang SUN terakhir pada 28 Maret lalu, minat pasar anjlok dengan nilai penawaran hanya Rp 29,34 triliun, turun jauh dari lelang sebelumnya yang mencapai lebih dari Rp 50 triliun. Menurut analis, melihat kecenderungan pembatasan suplai di pasar primer, pelaku pasar akhirnya lebih senang berburu SBN di pasar sekunder.
Sepanjang 2020-2023, suplai obligasi di pasar naik hampir 2x lipat dari Rp 2.900 triliun menjadi Rp 5.600 triliun menyusul kebijakan burden sharing pemerintah dan bank sentral dalam upaya membiayai penanganan pandemi Covid-19. Suplai yang melimpah itu berpotensi menurunkan harga SUN di pasar sekunder. Alhasil, kebijakan pembatasan suplai di pasar primer itu terus dijalankan agar harga obligasi negara tetap di kisaran target pemerintah.
Lelang hari ini juga akan berlangsung di tengah volatilitas pasar yang kembali tajam menyusul data terbaru pasar tenaga kerja Amerika yang memberi sinyal beragam pada pasar terkait arah bunga acuan Fed. Itu akan membawa pelaku pasar memilih sikap lebih berhati-hati.
Sinyal palsu dari pasar obligasi?
Ketika krisis perbankan yang dipicu kejatuhan Silicon Valley Bank meletus Maret lalu, pasar obligasi langsung bereaksi secara gamblang. Imbal hasil US Treasury tenor dua tahun yang sangat sensitif terhadap pergerakan bunga acuan langsung turun satu poin persentase selama tiga hari pada Maret, terbesar sejak 1982.
Bagi para trader yang terbiasa memperlakukan sinyal seperti itu sebagai hal yang sakral, pesannya jelas. Lewatlah sudah hari-hari ketika inflasi menjadi ancaman utama perekonomian. Tingkat imbal hasil itu memperlihatkan tekanan dalam sistem keuangan yang membuat resesi ekonomi menjadi hal tak terelakkan. Namun, benarkah memang demikian?
Tiga pekan kemudian, pertanyaan-pertanyaan tidak berhenti berputar tentang apa yang bisa dilakukan terhadap volatilitas pasar instrumen pendapatan tetap yang dengan segala keganasannya sebagian besar tidak ada di pasar ekuitas dan kredit.
Ada kecurigaan bahwa jangan-jangan pergerakan yield itu semata sebagai ulah spekulan sehingga ketika yield turun cukup besar akhirnya menjadi alarm palsu resesi. "Setiap hari di mana tidak ada krisis perbankan adalah hari lain yang menunjukkan bahwa penetapan harga saat ini tidak masuk akal, tapi itu akan memakan waktu agak lama," kata Bob Elliott, Kepala Investasi Unlimited Funds seperti dikutip Bloomberg News, Senin (10/4/2023).
- dengan asistensi laporan Katherine Greifeld and Liz McCormick dari Bloomberg News.
(rui)