Arus modal asing mungkin masih akan tertahan karena pemilik modal global memilih mengurangi risiko sampai ada kejelasan yang lebih terang tentang prospek kebijakan fiskal Indonesia ke depan.
Dalam penjelasannya saat konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI kemarin, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, dari sisi inflasi, Indonesia bisa mulai menurunkan bunga acuan. Inflasi tahun ini diperkirakan rendah di 2,9% begitu juga tahun depan di kisaran 1,5%-3,5%.
"Itulah kenapa saya sampaikan ada ruang penurunan suku bunga. Inflasi rendah tahun depan sehingga bila ada ruang [penurunan] suku bunga kita bisa turunkan itu juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry.
Namun, BI memilih memastikan lebih dulu 'gong' dari The Fed untuk memulai siklus penurunan bunga acuan. Ketika FFR turun, imbal hasil investasi AS dengan Indonesia akan terentang lebih lebar sehingga mengerek minat modal asing kembali masuk ke pasar domestik.
"Dari data-data (Amerika) terakhir, kami semula sampaikan perkiraan FFR turun baru pada Desember. Kami perkirakan terkini, ada probabilitas FFR turun pada November meski pasar ada yang prediksi September," kata Perry.
Sampai hal itu terjadi, BI memilih bertahan dan mengandalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk menarik minat asing melalui pemberian bunga diskonto tinggi di kisaran 7,42%.
Sejauh ini, arus modal asing yang masuk ke pasar surat utang dan saham juga masih kecil bahkan ketika sentimen pasar global makin positif. Pekan lalu, asing mencetak posisi net buy di pasar Surat Berharga Negara (SBN) senilai US$263,68 juta. Sedangkan data terakhir pekan ini, pada Senin lalu, asing membukukan pembelian SBN sebesar US$5,39 juta.
Di pasar saham, asing juga mulai masuk di mana pekan lalu membukukan net buy Rp1,55 triliun. Namun, pada tiga hari pertama pekan ini, asing kembali mencetak net sell Rp487,62 miliar.
Alhasil, di SBN dan saham, asing masih membukukan posisi jual bersih sepanjang tahun ini hingga data setelmen 11 Juli, sebesar Rp28,82 triliun dan Rp6,75 triliun. Asing hanya net buy di SRBI dengan nilai dominan mencapai Rp153,2 triliun pada periode yang sama.
Prospek Kebijakan Fiskal
Minat asing kembali masuk ke pasar domestik bukan hanya tertahan oleh sentimen pasar global yang melesatkan pamor dolar AS. Para pemilik modal global yang terlihat menahan diri karena menunggu kepastian lebih terang siapa sosok yang akan menjadi nahkoda kebijakan ekonomi dan bagaimana arah kebijakan fiskal pemerintahan yang dipimpin oleh Prabowo nanti.
Prabowo baru akan dilantik pada 20 Oktober dan diperkirakan akan segera mengumumkan susunan kabinet. Beberapa kali rupiah terhantam spekulasi terkait nama menteri keuangan kelak dan rencana kebijakan fiskal.
Yang terbaru, tim di belakang Prabowo justru melempar sinyal campur aduk yang membuat pasar semakin cemas. Rencana menaikkan rasio utang hingga 50% untuk membiayai berbagai program berbiaya besar yang dijanjikan selama kampanye, sempat dibantah oleh Anggota Bidang Keuangan Satgas Sinkronisasi Thomas Djiwandono.
Namun, pernyataan terang benderang penasihat utama Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, beberapa pekan setelahnya, malah mementahkan bantahan tersebut.
Hashim dalam wawancara dengan Financial Times, mengonfirmasi adanya rencana mengerek rasio utang Indonesia hingga 50% dari PDB pada pemerintahan baru nanti. Langkah itu akan ditempuh bersamaan dengan rencana mengerek penerimaan pajak untuk membiayai belanja negara.
Hashim bahkan menyatakan, Prabowo mengizinkan kenaikan rasio utang itu agar belanja program ambius seperti makan bergizi gratis yang menjadi andalan kampanye, bisa dibiayai. Namun, rencana kenaikan rasio utang itu diberikan dengan syarat pemerintah bisa mengerek pendapatan pajak.
Hashim bilang, ia yakin Indonesia masih bisa mempertahankan peringkat kredit 'Investment Grade' meski rasio utang naik ke 50% dari posisi saat ini di 39%.
"Idenya adalah meningkatkan pendapatan dan tingkat utang. Saya sudah bicara dengan Bank Dunia dan mereka berpendapat [rasio utang] 50% adalah tindakan bijaksana," kata Hashim.
Walau akhirnya statement itu kembali dibantah oleh Ketua Satgas Sinkronisasi Sufmi Dasco, namun pasar agaknya memilih untuk menghindari risiko lebih dulu dan bersiap untuk berbagai skenario.
"Pernyataan [Hashim] itu kami anggap sebagai sikap resmi pemerintah terpilih mulai 2026 setelah revisi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara di 2025. Kami memprediksi defisit fiskal 2026-2029 akan mencapai -4% hingga -5% terhadap PDB per tahun," kata Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi.
Pelaku pasar juga akan menyoroti sosok pengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani yang selama ini dianggap sudah berhasil menjaga keuangan negara dalam posisi konservatif dan berhati-hati.
"Jika menteri keuangan [pada pemerintahan baru] terlihat terlalu patuh pada Prabowo dan tidak terus mendorong reformasi, kemungkinan besar pasar akan mengenakan premi risiko lebih besar pada pasar fixed income di Indonesia," komentar Philip McNicholas, Asia Sovereign Strategist di Robeco, dilansir oleh Bloomberg News.
Thomas jadi Wamenkeu
Yang terbaru, keponakan Prabowo yaitu Thomas Djiwandono, dikabarkan akan dilantik sebagai Wakil Menteri Keuangan oleh Presiden Joko Widodo, mendampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani yang masa jabatannya tinggal tersisa tiga bulan.
Sejauh ini reaksi pasar terlihat gamang. Rupiah melemah terdalam di awal perdagangan pasar spot Asia di tengah pelemahan dolar AS. Namun, pelemahan rupiah sejauh ini masih sejalan dengan pergerakan mata uang Asia lain yang sebagian besar juga melemah.
Sementara pasar surat utang negara terlihat tertekan di mana imbal hasil naik di mayoritas tenor kecuali 1Y, 2Y dan 6Y. Sedangkan indeks saham masih menguat meski tipis ke 7.283.
(rui/aji)