Bloomberg Technoz, Jakarta - Ekonom menyarankan Bank Indonesia (BI) untuk berhati-hati dalam menerbitkan instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) agar tak terjadi gangguan likuiditas di pasar keuangan dan menyebabkan krisis perbankan seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS) pada 2023 lalu.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan industri perbankan saat ini mulai menjual SRBI secara ritel. Menurut dia, hal ini mengingatkannya pada kondisi krisis perbankan di AS yang terjadi akibat penjualan treasury secara langsung yang akhirnya mengganggu likuiditas perbankan.
"Ke depan makin harus hati-hati juga karena perbankan mulai menjual SRBI secara ritel. Kita ingat kasus krisis perbankan AS 2023 akibat penjualan treasury direct yang akhirnya ganggu likuiditas karena crowding out dana perbankan ke produk pasar uang," papar David kepada Bloomberg Technoz, dikutip Rabu (17/7/2024).
Sebagai informasi, crowding out merupakan kondisi ketika kebijakan pemerintah atau bank sentral yang bersifat ekspansif mempengaruhi kondisi pasar. Hal ini dapat diartikan sebagai pengeluaran investasi dari sektor swasta menurun karena adanya peningkatan pinjaman pemerintah.
BI Rate Berpotensi Tetap 6,25%
Dalam kesempatan yang sama, David memperkirakan BI masih akan menahan tingkat suku bunga acuan atau BI Rate tetap di level 6,25% pada Juli 2024. Pasalnya, inflasi masih dalam rentang target BI, sementara nilai tukar rupiah juga relatif stabil.
Menurut dia, ekspektasi penurunan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve bergeser pada September, sehingga BI masih akan menunggu arah suku bunga The Fed sebelum mengubah arah kebijakan moneter ke depannya.
“Asalkan inflasi terkendali, Fed mulai lebih longgar dalam kebijakan moneternya dan rupiah stabil,” tutur David.
(lav)