Bahkan saat ini masih memiliki kapasitas menganggur atau idle sebesar 60% atau sekitar 80-90 juta m2. Kapasitas ini siap untuk berjalan untuk jenis keramik HT, yang mana merupakan mayoritas keramik impor asal China.
Angka idle, lanjut Eddy, merupakan imbas dari praktik unfair trade atau tindakan dumping dan predatory pricing yang merugikan produsen keramik dalam negeri.
“Sangat disayangkan terjadi defisit US$1,5 miliar selama tahun 2019-2023 hanya karena keramik impor yang seharusnya tidak perlu terjadi, karena sejatinya kita mampu produksi. Namun karena praktek dumping tersebut, pemerintah dan rakyat jelas yang dirugikan,” jelas Edy.
Ia bersama Asaki kini merasa khawatir dengan importasi keramik yang sangat masif dimana puluhan juta m2 keramik akan masuk dalam waktu satu bulan ke depan. Impor ini disinyalir sebagai langkah antisipasi para importir menunggu diberlakukannya BMAD.
Edy menegaskan bahwa sesungguhnya tidak hanya Industri keramik nasional yang dirugikan, namun konsumen dalam negeri.
“Konsumen dalam negeri juga dirugikan selama ini dimana hanya disuguhi dengan harga dumping atau predator pricing dengan kualitas murahan dari produk import tersebut,” terang dia.
Dirinya lantas mencontohkan bahwa negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), negara di Uni Eropa, dan Timur Tengah, telah melakukan hal serupa terhadap produk keramik asal China.
Banyak negara telah melindungi industri keramik dalam negeri mereka dan tidak ada takut pada tuntutan balik oleh China melalui WTO. Pasalnya praktik semacam ini nyata terbukti merupakan dumping.
Kenapa mereka melakukan praktik dumping? Karena over capacity dan over supply di mana industri keramik China memiliki kapasitas produksi sekitar 11-12 miliar m2 dan saat ini jalan dengan utilisasi sekitar 50%-55%,” pungkas Edy.
Bahkan Asaki yang aktif tergabung di dalam World Ceramic Tiles FORUM (WCTF) mendapatkan dukungan penuh berupa data, informasi serta advokasi internasional jika terjadi keberatan oleh produsen keramik asal Tiongkok di WTO.
(wep)