Ekonom Permata Bank Josua Pardede memproyeksikan, BI baru akan menurunkan suku bunga di tahun depan, tepatnya pada kuartal I 2025.
Josua memperkirakan arah kebijakan moneter BI di masa depan terkait BI rate akan sangat bergantung pada perkembangan kondisi ekonomi dan politik global, terutama di AS. Meskipun pasar saat ini mengantisipasi dua kali penurunan Fed Funds Rate (FFR) di tahun ini, dia berpandangan bahwa the Fed hanya akan menurunkan FFR satu kali, yakni di kuartal-IV 2024.
“Fed diperkirakan akan data dependent, dan juga mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas dari ekonomi AS, termasuk implikasi dari dinamika politik domestik di tengah pemilihan umum tahun ini. Kami masih melihat bahwa peluang penurunan BI-rate akan muncul ketika the Fed memulai penurunan FFR,” papar Josua.
Secara global, indikator-indikator ekonomi AS baru-baru ini mengonfirmasi perlambatan ekonomi AS, sektor manufaktur dan jasa yang mengalami kontraksi, disinflasi yang terus berlanjut, dan pasar tenaga kerja yang melemah. Namun, ketidakpastian global juga cenderung meningkat, terutama terkait dengan kondisi politik di Zona Euro dan AS.
Selain itu, kata Josua, upaya penembakan terhadap mantan Presiden AS Donald Trump telah meningkatkan peluangnya untuk memenangkan pemilu AS yang akan datang serta meningkatkan ketidakpastian pasar. Hal ini karena kemungkinan kebijakan yang diambil seperti kebijakan perdagangan yang restriktif dan pemotongan pajak yang diusulkan dapat meningkatkan inflasi.
Secara keseluruhan, sentimen risk-off meningkat, dan permintaan terhadap aset-aset safe-haven menguat, membatasi pelemahan US Dollar Index di tengah melemahnya data ekonomi AS.
Di dalam negeri, tingkat inflasi Indonesia cenderung terkendali karena peningkatan pasokan pangan setelah musim panen raya. Neraca perdagangan terus mencatat surplus, meskipun menyempit, sehingga mendorong berlanjutnya defisit neraca transaksi berjalan (CAD) meskipun masih dalam level yang terkendali.
“Faktor-faktor ini berkontribusi pada stabilitas ekonomi,” imbuh Josua.
Namun, risiko-risiko muncul dari meningkatnya ketidakpastian mengenai keberlanjutan fiskal yang berasal dari perbedaan pendapat mengenai utang publik dan defisit fiskal. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya twin deficit, dengan melebarnya defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
“Isu-isu tersebut memicu sentimen risk-off, yang berpotensi membatasi aliran modal masuk dan mempengaruhi stabilitas rupiah,” jelas Josua.
(lav)