Logo Bloomberg Technoz

Likuiditas di pasar saat ini terus terkuras karena aliran modal banyak tersedot ke instrumen Sertifikat Rupiah (SRBI) yang diterbitkan Bank Indonesia.

SRBI dirilis pertama kali pada September sebagai ikhtiar bank sentral menarik modal asing masuk ke pasar domestik supaya bisa menambah pasokan valas di kala obligasi negara cenderung dijauhi, akibat pemburukan pasar global.

Namun, dalam perjalanannya, SRBI bukan hanya diburu asing. Pemodal domestik pun makin jor-joran menempatkan dana di instrumen jangka pendek itu. Sebuah langkah yang bisa dipahami bila menilik tawaran bunga diskonto yang tinggi kala tenornya pendek yang membuatnya likuid alias mudah diuangkan lagi.

Persoalannya, ada indikasi laju pembelian SRBI oleh investor domestik itu malah membuat penempatan di instrumen lain seperti Surat Berharga Negara (SBN) susut, begitu juga di pasar saham.

Di pasar saham misalnya, rata-rata nilai transaksi investor di bursa pada Mei mencapai Rp14,3 triliun. Angkanya turun 10% pada bulan berikutnya di mana transaksi harian di bursa pada Juni tinggal Rp12,8 triliun meski pada saat yang sama volume perdagangan naik 10% menjadi 20,6 juta saham.

Laju pembelian investor domestik di SRBI juga terindiksi mulai melampaui kenaikan nilai belanja asing di instrumen yang sama.

Sebagai imbas langsung, likuiditas pasar terdampak makin seret. Upaya bank mencari pinjaman di pasar uang antarbank juga menjadi lebih sulit karena bunga pinjaman dikerek naik mendekati SRBI yang saat ini masih di 7,42% setelah sempat menyentuh 7,53%.

Bagi bank dengan tingkat likuiditas mepet, situasi ini tidak menguntungkan karena harus menghadapi risiko kenaikan cost of fund, yang bisa berimbas pada tidak kompetitifnya bunga kredit yang ia tawarkan pada nasabah. Imbas lain, bank mungkin akan terpaksa mengurangi keuntungannya (NIM) agar penawaran kredit tetap menarik.

Bank Alihkan Dana 

Perbankan yang selama ini menjadi penguasa terbesar Surat Berharga Negara (SBN) sejak era krisis pandemi ketika pemerintah menggelontorkan stimulus melalui skema burden sharing dengan Bank Indonesia, kini banyak bergeser memburu SRBI. Imbal hasil yang jauh lebih tinggi dibanding SBN menjadi salah satu alasannya.

Sebagai gambaran, posisi kepemilikan perbankan di SBN akhir Juni turun Rp38,02 triliun menjadi Rp1.280,6 triliun. Pada saat yang sama, kepemilikan SRBI oleh perbankan selama Juni meningkat Rp76,74 triliun.

Sampai bulan lalu, perbankan menguasai 22,07% dari total SBN yang beredar di pasar, turun dibanding bulan sebelumnya. Bank Indonesia pada saat yang sama semakin kukuh menjadi penguasa pasar SBN dengan porsi kepemilikan mencapai 23,07%. Itu menjadikan BI sebagai satu dari sedikit bank sentral di dunia yang menjadi pemilik terbesar obligasi negaranya sendiri.

Adapun sektor nonbank, juga terlihat semakin antusias berburu cuan di SRBI. Pada Juni lalu, sektor nonbank -termasuk di dalamnya adalah perusahaan asuransi, dana pensiun dan pengelola reksa dana- menaikkan portofolio mereka di SRBI dengan pembelian bersih mencapai Rp34,4 triliun pada Juni.

Nilai pembelian itu melonjak tajam dibanding Mei yang hanya sebesar Rp1,3 triliun. Pada saat yang sama, kepemilikan industri asuransi, dana pensiun dan reksadana di SBN juga meningkat Rp16,88 triliun menjadi Rp1.282,77 triliun.

Sementara investor asing, nilai pembeliannya turun dari sebesar Rp77,03 triliun pada Mei menjadi Rp40,3 triliun pada Juni.

"Arus masuk asing yang lebih rendah dan pembelian SRBI oleh investor domestik yang lebih tinggi bisa memicu efek crowding out yang lebih serius," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Analyst Drewya Cinantyan.

Beberapa bank terindikasi sudah menaikkan bunga simpanan ketika bunga SRBI dikerek naik oleh BI. Bank yang dikenal memiliki dana murah melimpah, PT Bank Central Asia Tbk, misalnya, mulai menaikkan tingkat bunga deposito sebesar 50 bps untuk simpanan di bawah Rp2 miliar.

Catatan Bank Indonesia, pada Mei lalu, bunga simpanan untuk deposito tenor 1 bulan, 12 bulan dan 24 bulan meningkat menjadi masing-masing 4,64%, lalu 5,91% dan 4,10%. Pada bulan sebelumnya, tingkat bunga simpanan masing-masing tercatat 4,62%, lalu 5,88% dan 4,05%.

Keputusan BI Rate

Hari ini, 17 Juli, Bank Indonesia akan memutuskan kebijakan bunga acuan setelah menggelar Rapat Dewan Gubernur sejak kemarin Selasa. Hasil konsensus pasar sejauh ini masih memperkirakan BI bakal kembali menahan BI rate di 6,25% menilik situasi ketidakpastian pasar global yang masih mengancam stabilitas rupiah.

Bank Indonesia Mengumumkan Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan Bulan Juni 2024.(Bloomberg Technoz/Azura Yumna)

Dalam paparannya nanti Gubernur BI Perry Warjiyo mungkin akan menyinggung perihal tingkat bunga SRBI yang masih menarik di mata pasar dan pada saat yang sama menyebut likuiditas perbankan masih baik-baik saja.

Perry juga mungkin akan menyinggung likuiditas perbankan masih kuat dengan dukungan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang diberikan bank sentral selama ini. 

KLM yang diberikan sejak 1 Oktober tahun lalu kini semakin diperluas hingga sebesar total Rp246 triliun. Pada Maret angkanya masih sebesar Rp165 triliun, kemudian ditambah sebesar Rp81 triliun.

Insentif ini berupa pengurangan pemenuhan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 4%. Sehingga, perbankan hanya perlu memenuhi GWM sebesar 5%.

“5% GWM itu kan cukup besar, jadi inilah insentif likuiditas artinya BI memberi reward [insentif[ berupa likuiditas kepada bank yang rajin memberikan kredit. Jadi tidak langsung memotong GWM-nya tapi kepada bank yang rajin memberikan kredit kami kasih likuiditas yang lebih,” kata Juda Agung, Deputi Gubernur BI dalam taklimat media awal Juni lalu.

(rui/aji)

No more pages