Logo Bloomberg Technoz

Konsensus pasar yang dihimpun oleh Bloomberg, sampai hari ini masih memperkirakan BI rate masih akan dipertahankan di level saat ini di 6,25%.

Rupiah memang masih tertahan di Rp16.200-an/US$. Namun, pergerakannya sejak awal bulan relatif lebih stabil dibanding Juni di mana rupiah sempat terperosok ke Rp16.450/US$. Menghitung sejak awal tahun, rupiah saat ini sudah mengurangi derajat pelemahannya dibanding Juni lalu.

Berdasarkan perhitungan Bloomberg, rupiah mencatat pelemahan 4,96% year-to-date. Akan tetapi, itu sudah lebih baik dibanding Januari-Juni di mana pelemahannya mencapai 6,08%.

Hanya saja, dalam jangka pendek-menengah, rupiah sepertinya masih akan dibayangi kekhawatiran investor terhadap arah kebijakan fiskal di bawah pemerintahan baru Presiden terpilih Prabowo Subianto kelak.

Itu menjadi sentimen negatif yang bisa menahan arus modal asing masuk ke pasar domestik. Alih-alih, modal asing malah bisa kembali hengkang bila ada sinyal ketidakberlanjutan kebijakan fiskal yang berhati-hati di bawah kendali Menteri Keuangan Sri Mulyani selama ini.

Prabowo Subianto, presiden terpilih Indonesia, berbicara pada Dialog IISS Shangri-La di Singapura, pada Sabtu (1/6/2024)./Bloomberg-Ore Huiying

"Rupiah masih rentan terhadap kekhawatiran investor bahwa kebijakan fiskal RI tidak bijaksana di bawah pemerintahan baru yang akan dilantik Oktober nanti," kata Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson.

Pada pekan lalu, asing terpantau kembali masuk didorong sentimen global yang membaik karena data ekonomi AS menunjukkan disinflasi makin meyakinkan peluang penurunan bunga The Fed, di tengah tingkat pengangguran yang meningkat.

Pada 8-11 Juli, catatan BI, investor nonresiden mencatat posisi beli bersih di SBN sebesar Rp3 triliun, lalu di pasar saham Rp320 miliar dan di SRBI sebesar Rp2,27 triliun.

Namun, sepanjang tahun ini, minat asing sejatinya masih belum pulih. Sampai data setelmen 11 Juli lalu, sejak awal tahun asing masih membukukan posisi jual neto di SBN sebesar Rp28,82 triliun dan di pasar saham sebesar Rp6,75 triliun. 

Asing hanya memburu SRBI saja yang bertenor pendek dengan imbal hasil sangat tinggi melampaui yield SBN, dengan posisi beli bersih sepanjang tahun ini mencapai Rp153,2 triliun.

Situasi yang mulai membaik itu bisa dengan mudah berbalik arah terutama apabila ada indikasi prospek kebijakan fiskal mendatang membuat pemodal khawatir. "Ketidakpastian mengenai rencana fiskal akan membebani pikiran investor dalam beberapa bulan mendatang," komentar Alex Loo, Strategist di TD yang memperkirakan nilai rupiah akan tertahan di Rp16.350/US$ pada akhir kuartal ini.

"Jika menteri keuangan [pada pemerintahan baru] terlihat terlalu patuh pada Prabowo dan tidak terus mendorong reformasi, kemungkinan besar pasar akan mengenakan premi risiko lebih besar pada pasar fixed income di Indonesia,"

Philip McNicholas, Asia Sovereign Strategist Robeco

"Jika menteri keuangan [pada pemerintahan baru] terlihat terlalu patuh pada Prabowo dan tidak terus mendorong reformasi, kemungkinan besar pasar akan mengenakan premi risiko lebih besar pada pasar fixed income di Indonesia," komentar Philip McNicholas, Asia Sovereign Strategist di Robeco, dilansir oleh Bloomberg News.

Simpang siur informasi di mana saling bantah terjadi di internal tim di belakang Prabowo, pada akhirnya memaksa pasar bersiap-siap dengan asumsi bahwa rencana mengerek rasio utang ke 50% itu adalah kebijakan resmi pemerintahan baru kelak.

 "Walaupun rencana tersebut dibantah oleh Satgas Sinkronisasi [Sufmi Dasco], pernyataan [Hashim] itu kami anggap sebagai sikap resmi pemerintah terpilih mulai 2026 setelah revisi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara di 2025. Kami memprediksi defisit fiskal 2026-2029 akan mencapai -4% hingga -5% terhadap PDB per tahun," kata Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Prayadi.

Sinyal Penurunan Bunga

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR-RI dengan Menteri Keuangan di Gedung Parlemen Senayan, 8 Juli lalu menyatakan, suku bunga BI rate sejauh ini memang masih dipertahankan di level 6,25%. 

"Kami akan coba mungkin kalau ada ruangan untuk menurunkan bunga acuan BI rate pada triwulan IV-2024. Tapi fokus kami saat ini adalah menjaga stabilitas rupiah," kata Perry.

Bank Indonesia Mengumumkan Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan Bulan Juni 2024.(Bloomberg Technoz/Azura Yumna)

Perry bilang, sejatinya ada rencana penurunan itu sebelum Lebaran 2024 pada April lalu. Akan tetapi, karena gejolak global memuncak akibat Fed fund rate, bunga acuan Amerika, tidak jadi turun ditambah ketegangan politik di Timur Tengah, rencana itu kandas dan BI memilih menahan BI rate sampai saat ini di 6,25% demi mendukung stabilitas rupiah.

Menjaga stabilitas rupiah menjadi fokus utama bank sentral setelah inflasi domestik relatif terkendali. Meski Perry mengakui, inflasi harga pangan bergejolak sampai saat ini masih cukup tinggi di atas 5%.

Perekonomian domestik saat ini menghadapi tekanan pelemahan daya beli dan kelesuan aktivitas manufaktur yang sebagian juga dipengaruhi oleh ketatnya likuiditas pasar yang membuat bank lebih selektif menyalurkan kredit. 

Dalam situasi itu mungkin penurunan BI rate dan bunga SRBI dibutuhkan. Namun, ekonom menilai masih ada ancaman inflasi ke depan yang membuat kebijakan menahan BI rate akan lebih tepat saat ini.

Dari aspek inflasi, Indonesia dianggap telah melewati tekanan besar pada tingkat harga yang diakibatkan oleh beberapa faktor musiman dan kemunculan El-Nino, menurut kajian LPEM-Universitas Indonesia.

Namun, adanya risiko La Nina pada kuartal-III 2024 berpotensi mengganggu produksi pertanian sehingga bisa memicu tekanan harga pangan.

"BI perlu tetap waspada dalam merumuskan bauran kebijakannya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan tingkat harga domestik. Untuk saat ini, inflasi cenderung bukanlah isu yang mendesak dan perbedaan tingkat suku bunga masih cenderung atraktif untuk menarik modal masuk dan menjaga stabilitas Rupiah. Menilai kondisi ini, kami berpandangan BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,25% untuk bulan ini," kata Teuku Riefky, ekonom LPEM UI dalam kajiannya.

(rui/aji)

No more pages