"Kalau pasokan dari peternak sapi ataau feedloter tidak cukup baru pemerintah boleh impor. Skala prioritas, yang harus diprioritaskan adalah dari rakyat dulu," ujar dia.
Menurut Welly, para peternak pun tak bisa menurunkan harga jual daging segar. Mereka terikat pada patokan harga awal dari peternak Australia, yang menjadi satu-satunya pemasok impor sapi ke Indonesia. Kecuali, pemerintah bisa mencari sekitar 2-3 negara baru yang bisa jadi asal impor sapi. Hal ini bisa menjadi daya tawar atau bargaining position bagi peternak Indonesia untuk menekan harga sapi impor.
Senada, pemilik Rumah Potong Hewan (RPH) Darmajaya Cakung, Eka Nanobaek Tanone mengatakan, industri daging segar akan bernasib sama dengan industri tekstil yang bangkrut usai ekspansi barang impor dengan harga murah. Menurut dia, pemerintah harus mempertimbangkan keberadaan sejumlah tenaga kerja yang bisa terkena dampak saat peternakan atau RPH mengalami krisis pendapatan.
"Masalahnya, impor daging beku itu tidak menyerap tenaga kerja, masalahnya ada di situ," kata dia.
Pemilik peternakan sapi PT TujuhBelas Per TigaEnam, Teten Djaka Triana mengatakan, peternak sapi sudah tak lagi mengirim pasokan daging segara ke sejumlah daerah pasca masuknya daging impor beku. "Dulu kita bisa menjangkau sampai dengan Jawa Tengah. Tetapi sekarang tidak lagi. Purwakarta yang di Jawa Barat saja sudah tidak lagi. Daya beli masyarakatnya tidak sampai, mereka cari yang lebih murah," ujar dia.
Menurut dia, kenaikan harga daging sapi besar juga tak signifikan. Hal ini hanya pola yang umum terjadi menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Kenaikan harga pun lebih merupakan imbas dari beberapa komoditas yang tidak terserap di pasar.
"Kalau bukan saat Lebaran, kepala, kulit, lemak, itu laku terjual. Sehingga memang bisa menekan harga. Sementara momen lebaran, komponen ini tidak terkonsumsi, sehingga mau tidak mau perlu ada kenaikan harga untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan cost," kata Teten.
(rez/frg)