Bloomberg Technoz, Jakarta - Pelaku usaha peternakan dan pejagalan sapi mulai mengeluhkan dampak dari kebijakan pemerintah melakukan impor daging kerbau dan sapi beku menjelang Idul Fitri 1444 Hijriah. Mereka menilai, kebijakan dengan dalih menjaga stabilitas harga telah menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha.
Direktur Corporate Affairs Great Giant Food (GGF), Welly Soegiono mengatakan, daya beli masyarakat saat ini cukup rendah. Hal ini membuat sebagian besar masyarakat memilih produk impor berupa daging beku kerbau atau sapi yang dibandrol sekitar Rp 80.000/Kg. Masyarakat semakin enggan memilih daging sapi segar milik peternak yang memang sudah dipasarkan sekitar Rp 120.000/Kg.
"Sejak daging kerbau beku masuk ke Indonesia. Sudah ada lima feedloter yang bangkrut dari 45 feedloter [peternak penggemukan sapi] yang ada dan beroperasi selama ini," kata Welly.
Menurut dia, berhentinya usaha feedloter akan berdampak pada minimnya permintaan pada bisnis penjagalan atau rumah potong hewan (RPH). Pemerintah dinilai kurang peka terhadap sejumlah efek lanjutan atau domino effect dari kebijakan impor daging beku yang salah waktu.
Welly menilai, pemerintah bisa membuka kran impor daging beku saat kebutuhan daging sapi di Indonesia memang mengalami krisis stok. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan waktu dan jumlah impor daging beku setelah mempertimbangkan pasokan dari peternak lokal.
"Kalau pasokan dari peternak sapi ataau feedloter tidak cukup baru pemerintah boleh impor. Skala prioritas, yang harus diprioritaskan adalah dari rakyat dulu," ujar dia.

Menurut Welly, para peternak pun tak bisa menurunkan harga jual daging segar. Mereka terikat pada patokan harga awal dari peternak Australia, yang menjadi satu-satunya pemasok impor sapi ke Indonesia. Kecuali, pemerintah bisa mencari sekitar 2-3 negara baru yang bisa jadi asal impor sapi. Hal ini bisa menjadi daya tawar atau bargaining position bagi peternak Indonesia untuk menekan harga sapi impor.
Senada, pemilik Rumah Potong Hewan (RPH) Darmajaya Cakung, Eka Nanobaek Tanone mengatakan, industri daging segar akan bernasib sama dengan industri tekstil yang bangkrut usai ekspansi barang impor dengan harga murah. Menurut dia, pemerintah harus mempertimbangkan keberadaan sejumlah tenaga kerja yang bisa terkena dampak saat peternakan atau RPH mengalami krisis pendapatan.
"Masalahnya, impor daging beku itu tidak menyerap tenaga kerja, masalahnya ada di situ," kata dia.
Pemilik peternakan sapi PT TujuhBelas Per TigaEnam, Teten Djaka Triana mengatakan, peternak sapi sudah tak lagi mengirim pasokan daging segara ke sejumlah daerah pasca masuknya daging impor beku. "Dulu kita bisa menjangkau sampai dengan Jawa Tengah. Tetapi sekarang tidak lagi. Purwakarta yang di Jawa Barat saja sudah tidak lagi. Daya beli masyarakatnya tidak sampai, mereka cari yang lebih murah," ujar dia.
Menurut dia, kenaikan harga daging sapi besar juga tak signifikan. Hal ini hanya pola yang umum terjadi menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Kenaikan harga pun lebih merupakan imbas dari beberapa komoditas yang tidak terserap di pasar.
"Kalau bukan saat Lebaran, kepala, kulit, lemak, itu laku terjual. Sehingga memang bisa menekan harga. Sementara momen lebaran, komponen ini tidak terkonsumsi, sehingga mau tidak mau perlu ada kenaikan harga untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan cost," kata Teten.
(rez/frg)