"Beberapa caranya adalah membangun lapangan kerja berkelanjutan, inklusif, dan berdaya saing melalui pengembangan infrastruktur, meningkatkan penelitian dan inovasi, dan kebebasan ekonomi melalui kemudahan untuk berbisnis, membuka lapangan kerja, dan menjadi wiraswasta," papar Putu panjang.
Selain menjaga daya beli, lanjut dia, masalah rantai pasok yang panjang di komoditas utama seperti beras juga menjadi persoalan yang harus bisa diatasi Prabowo. BPS menjelaskan bahwa pola distribusi beras di beberapa provinsi bisa mencakup 2-3 pedagang perantara (tengkulak). Padahal standarnya hanya satu tengkulak.
"Bukan rahasia umum lagi kalau penyebab harga beras mahal adalah rantai pasok yang berbelit-belit dan bahkan cenderung merugikan petani," ungkap Putu.
Dari sisi politik, Putu menilai Prabowo harus berani ‘membagi kue’ yang mengutamakan stabilitas politik, dan bukan condong ke salah satu pendukung atau bahkan lebih mengutamakan partai sendiri.
Menurut dia, dampak negatif political power-sharing (politik berbagi kekuasaan) harus bisa dimitigasi. Hal itu mengapa perlu mengangkat menteri atau setingkat menteri atau kepala lembaga dalam institusi penting ekonomi, serta bersinggungan dengan kesejahteraan rakyat dari kalangan profesional. Hal ini guna menjaga tetap adanya check and balances.
"Masalah politik lain adalah korupsi yang juga berkelindan dengan ekonomi. Ratusan orang baik itu dari DPR dan DPRD, menteri/kepala lembaga, gubernur/bupati/walikota, hakim, sampai swasta dan birokrat terjerat praktik korupsi," kata Putu.
Penyebab korupsi di Indonesia pun beragam, mulai dari sistem politik yang dikelola oligarki, pejabat pemerintahan, sampai kepemimpinan yang buruk. Maka itu, dia menekankan pemerintahan Prabowo harus bisa mendorong dan memperkuat sistem demokrasi dan politik mendalam melalui reskilling dan upskilling pendidikan dan pengetahuan terkait demokrasi dan korupsi bagi pegawai kementerian/lembaga serta masyarakat.
Terakhir, masalah energi, dia menyarankan Prabowo harus mampu menjembatani para ahli dari lintas bidang ilmu, baik ekonomi, teknologi, perubahan iklim, dan lain-lain, untuk menyeimbangkan trilema energi, yaitu ketahanan energi, keadilan energi, dan keberlanjutan lingkungan.
"Pemerintahan Prabowo tidak bisa hanya menggunakan perspektif ekonomi dalam kebijakan energi, karena dalam penetapan jenis dan jumlah sumber energi yang dikonsumsi pun ada eksternalitas negatif yang meringkuk di dalamnya," kata dia.
Walaupun ketahanan energi masih menjadi prioritas, menurut dia, keadilan energi dan keberlanjutan lingkungan tidak boleh dilupakan. Pendekatan regulasi berdasarkan kepentingan publik yang merupakan intervensi kebijakan oleh pemerintah yang mendorong kesejahteraan masyarakat keseluruhan bisa diaplikasikan, seperti pajak karbon dan subsidi energi baru terbarukan (EBT). Tentu
"saja, pendekatan kebijakan juga harus mendorong kebebasan ekonomi. Jangan sampai unsur hak milik digeser untuk membangun infrastruktur EBT ketika memberikan subsidi EBT tersebut," kata dia.
(lav)