Tidak selesai sampai di situ, ketegangan dengan petugas pajak juga berlanjut saat Soimah membangun fasilitas pendopo di halaman rumahnya. Saat itu, Soimah mengatakan, petugas pajak mendatangi rumahnya dan melakukan apraisal terhadap bangunan pendopo yang nilainya ditaksir mencapai Rp 50 miliar. Bangunan tersebut kini diketahui ditempati oleh ayah mertua Soimah.
Petugas pajak lantas datang untuk menagih pajak karena Soimah dituding menghindari petugas pajak. Soimah merasa kerap diperlakukan kurang baik oleh petugas pajak.
"Kan, posisi saya, kan, sering di Jakarta. Nah, yang di rumah alamat KTP, kan, di tempat mertua saya. Bapak selalu dapat surat, sampai khawatir karena tidak tahu apa-apa. Akhirnya datang orang pajak bawa debt collector, gebrak meja. Bawa dua debt collector," ucap Soimah.
Kesaksian Soimah tersebut kemudian ramai diperbincangkan oleh warga net yang menilai petugas pajak telah melakukan intimidasi terhadap WP.
Legalitas 'Debt Collector' untuk Kantor Pajak
Menanggapi isu viral tersebut, DJP pun menyampaikan permohonan maaf kepada Soimah dan atas polemik kedatangan debt collector yang menagih pajak penghasilannya. Melalui akun Instagram @ditjenpajakri, mereka mengklarifikasi sampai saat ini belum ada pegawai pajak yang bertemu Soimah secara langsung.
"Pertama-tama, kami memohon maaf kepada Ibu Soimah jika merasakan tidak nyaman dan memiliki pengalaman yang tidak enak dengan pegawai kami," ujar pegawai pajak dalam postingan Instagram @ditjenpajakri.
Mereka memandang ada kesalahpahaman dari sisi Soimah dan memberikan tiga poin klarifikasi mengenai kasus tersebut. Pertama, mereka menceritakan pembelian rumah oleh Soimah pada tahun 2015 lalu.
Mengikuti kesaksian Soimah di notaris, tutur mereka, patut diduga yang berinteraksi adalah instansi di luar kantor pajak yang berkaitan dengan jual-beli aset berupa rumah.
Kalaupun ada interaksi yang dilakukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bantul, mereka menjelaskan itu hanya sebatas kegiatan validasi nilai transaksi rumah.
"Validasi dilakukan di kantor pajak kepada penjual bukan kepada pembeli untuk memastikan nilai transaksi yang dilaporkan memang sesuai dengan ketentuan," ujar DJP dalam postingan itu.
Kedua, mereka menyoroti soal debt collector. Menurut Undang-undang, kantor pajak mempunyai semacam debt collector yang diberi nama Juru Sita Pajak Negara (JSPN). JSPN bekerja dengan dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas jika ada tindakan pajak.
"Ibu Soimah sendiri tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tidak ada utang pajak. Lalu, buat apa didatangi sambil membawa debt collector? Apa benar itu pegawai pajak?" imbuhnya.
Apabila benar pegawai pajak, kemungkinan besar itu petugas penilai pajak yang meneliti pembangunan pendopo Soimah. Petugas pajak selama ini juga melibatkan penilai profesional agar tak semena-mena.
"Hasilnya, nilai bangunan ditaksir Rp 4,7 miliar bukan Rp 50 miliar seperti yang diklaim Ibu Soimah. Penting dicatat kesimpulan dan rekomendasi petugas pajak tersebut bahkan belum dilakukan tindak lanjut," kata DJP.
Poin ketiga merupakan klarifikasi atas tudingan pegawai pajak yang tidak manusiawi dalam mengingatkan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak.
Ditjen Pajak memastikan petugasnya hanya mengingatkan Soimah untuk melapor SPT dan menawarkan bantuan apabila ada kendala dalam pengisian. Hal itu dilakukan agar Soimah tidak terlambat karena batas pelaporan adalah akhir Maret 2023.
"Kami telah menelusuri chat dan rekaman komunikasi melalui telepon dan WhatsApp dan mendapati dari awal hingga akhir petugas kami sangat santun dalam menyampaikan," kata DJP.
Ditjen Pajak selanjutnya menyatakan bahwa Soimah terlambat menyampaikan SPT, namun mereka tidak memberikan teguran. "Hingga detik ini pun meski Ibu Soimah terlambat menyampaikan SPT, KPP tidak mengirimkan surat teguran resmi melainkan melakukan pendekatan persuasi."
(evs/ggq)