Logo Bloomberg Technoz

Agresivitas BI menarik dana asing melalui SRBI melalui penawaran imbal hasil tinggi, sudah berlangsung sejak tekanan pada rupiah terus meningkat pada September tahun lalu. Penjualan SRBI untuk menarik asing makin tinggi terutama ketika kinerjar rupiah makin tertekan sejak awal tahun dan memuncak pada bulan-bulan terakhir.

Sejak mula investor asing banyak yang kepincut menilik imbalan yang tinggi, sempat menyentuh 7,53%, dengan tenor pendek maksimal 12 bulan. Dalam situasi pasar yang masih tidak pasti, menempatkan dana di aset bertenor pendek tapi memberi imbalan tinggi adalah pilihan menarik.

Namun, animo asing yang tinggi itu bukan tanpa konsekuensi. Tingginya kepemilikan asing di SRBI juga berarti ada risiko tekanan di pasar valas di waktu-waktu mendatang ketika ada nilai yang jatuh tempo.

Tekanan di pasar valas di tengah ketidakpastian pasar yang masih tinggi, terlebih dengan kini muncul risiko gepolitik baru pasca insiden penembakan Calon Presiden AS Donald Trump, bisa menjadi kombinasi yang buruk bagi rupiah. Apalagi mengharap pasokan valas lebih banyak dari kinerja ekspor juga masih sulit dengan tren perlambatan ekspor RI saat ini.

Bank Indonesia juga mencatat kenaikan posisi utang luar negeri jatuh tempo berdasarkan jangka waktu sisa per Mei, menjadi sebesar US$10,61 miliar.

Angka itu melonjak 81,36% dibanding April. Sedangkan dibandingkan setahun sebelumnya, kenaikannya mencapai 1027% karena pada Mei 2023, posisi utang luar negeri bank sentral hanya US$941 juta.

Pada saat yang sama, ULN pemerintah yang jatuh tempo setahun ke depan turun 9,3%. Sedangkan swasta mencatat kenaikan sebesar 7,12% menjadi sebesar US$57,3 miliar per akhir Mei.

Total kenaikan nilai utang luar negeri yang jatuh tempo dalam waktu setahun ke depan, berdasarkan jangka waktu sisa, mencapai US$74,36 miliar, naik 11%, terutama disumbang oleh lonjakan ULN bank sentral akibat agresivitas penjualan SRBI pada investor asing.

Pada akhir Mei, posisi ULN Indonesia mencapai US$407,3 miliar, atau naik sebesar 1,8% year-on-year, setelah bulan sebelumnya mencatat kontraksi.

BI menjadi satu-satunya yang mencatatkan kenaikan posisi ULN. Pada Mei, angkanya mencapai US$18,78 miliar, naik 103% year-on-year dibanding Mei 2023. Sedangkan posisi ULN pemerintah pada saat yang sama turun 0,83% menjadi US$190,96 miliar. Adapun swasta mencatat juga turun 0,41% dibanding Mei 2023 menjadi US$197,58 miliar.

"Perkembangan ULN tersebut terutama dipengaruhi oleh peningkatan aliran masuk modal asing pada Surat Berharga Negara (SBN) internasional dan domestik, seiring dengan sentimen positif kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia," jelas Erwin Haryono, Asisten Gubernur Bank Indonesia dalam keterangan resmi hari ini.

Struktur ULN Indonesia, kata BI, tetap sehat tecermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tercatat sebesar 29,8%, serta didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 85,9% dari total ULN. 

Likuiditas Pasar Ketat

Perilisan SRBI memang dimaksudkan untuk menarik modal asing masuk di kala selera investor ke Surat Berharga Negara (SBN) cenderung tertahan di tengah ketidakpastian global yang masih tajam.

Akan tetapi, dengan bunga diskonto yang tinggi, duit para pemodal di pasar semakin banyak tersedot ke SRBI dan mengurangi pasokan di pasar aset lain seperti SBN ataupun pasar saham. 

Sebagai gambaran, posisi kepemilikan perbankan di SBN akhir Juni turun Rp38,02 triliun menjadi Rp1.280,6 triliun. Pada saat yang sama, kepemilikan SRBI oleh perbankan selama Juni meningkat Rp76,74 triliun.

Sementara sektor nonbank pada Juni terlihat menaikkan portofolio mereka di SRBI dengan pembelian bersih mencapai Rp34,4 triliun, setelah pada Mei hanya membeli Rp1,3 triliun. Di SBN, kepemilikan industri asuransi, dana pensiun dan reksadana pada saat yang sama mencapai Rp1.282,77 triliun, meningkat Rp16,88 triliun dari posisi Mei yang totalnya Rp1.265,89 triliun.

Makin meningkatnya animo investor pada SRBI tak ayal membuat likuiditas pasar terdampak. Likuiditas rupiah terserap makin banyak melalui instrumen operasi pasar terbuka yang nilainya mencapai Rp890 triliun, tiga kali lipat dari posisi prapandemi. Dari nilai operasi terbuka, 70% adalah SRBI.

“Kesimpulannya, likuiditas agak ketat,” kata Direktur Utama Bank BNI Royke Tumilaar.

Direktur Utama BTN Nixon L.P. Napitupulu menyatakan hal senada. Likuiditas di pasar saat ini makin mahal. Di mana hal tersebut membuat BTN terpaksa memangkas target pertumbuhan kredit tahun ini menjadi hanya 10%-12%. Pada kuartal-I 2024 kredit BTN mampu tumbuh 14,8%.

“14,8% ini mungkin kita akan turunkan pertumbuhan hanya 10-12% di akhir tahun, karena likuiditas yang cukup mahal. Jadi jangan sampai kita salurkan kredit, lama-lama rugi. Kita salurkan lebih mahal daripada kalau kita beli lagi di market harga dananya,” kata Nixon dalam rapat bersama DPRI-RI pekan lalu.

(rui/aji)

No more pages