"Dengan meningkatnya harga produk porselen di dalam negeri, ada kemungkinan besar akan terjadi peningkatan impor ilegal untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini justru dapat merugikan industri domestik dan menyebabkan kerugian bagi negara," kata Andry.
Pengajuan pemohonan BMAD juga disebutnya belum dapat mempresentasikan kesuluruhan produses domestik lantara hanya mempresentasikan 26% dari produksi ubin keramik secara nasional, yang mana hal ini, lanjut Andry bertentangan dengan perjanjian Anti Dumping WTO yang mensyaratkan adanya major proportion dari total produksi domestik untuk pengajuan tersebut.
Selain itu, kesalahan lain yang ditemukannya adalah ketika KADI mengeneralisir tipe keramik. Menurut Andry, kebutuhan akan keramik porselen belum bisa dipenuhi oleh produsen dalam negeri, sementara produsen dalam negeri memiliki keunggulan dalam memproduksi keramik body merah.
Industri keramik Indonesia saat ini memiliki target penambahan jumlah ekspansi keramik sebesar 88 juta meter persegi hingga akhir tahun 2024, dari kapasitas total sebesar 625 juta meter persegi yang sudah ada. Oleh sebab itu, Andry menilai BMAD belum mendesak untuk diberlakukan pada produk keramik porselen.
Pasalnya, pemerintah menurutnya juga sudah memberikan safeguard dan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) kepada industri keramik, dengan manfaat yang sudah dirasakan melalui ekspansi produk keramik sejak 2021.
"Ada tambahan kapasitas baru di industri keramik sebesar 88 juta meter persegi, di mana 75 persennya sudah tercapai," ujarnya.
Sebelumnya, Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) memastikan ada investasi baru dalam pembangunan pabrik keramik jenis homogenous tiles (HT) usai penetapan BMAD yang melebihi 100%.
Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengatakan beberapa importir telah memulai pembangunan pabrik keramik jenis HT dan diharapkan selesai pada 2025.
“Mereka sebenarnya wait and see hanya menunggu hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia [KADI] Kementerian Perdagangan. Jika BMAD di atas 100% maka pilihannya adalah segera merampungkan pembangunan pabriknya,” ujar Edy kepada Bloomberg Technoz, Sabtu (6/7/2024).
Selain para importir yang ‘berganti baju’ menjadi manufaktur atau pabrik, kata Edy, terdapat juga investasi baru dari anggota Asaki yang diperkirakan akan selesai pada semester II-2025.
Sekadar catatan, Edy sebelumnya melaporkan telah menerima surat laporan akhir KADI Kemendag ihwal impor keramik asal China.
“Setelah melakukan serangkaian proses penyelidikan dan verifikasi lapangan ke China telah terbukti benar ada tindakan dumping seperti yg dilaporkan oleh Asaki satu setengah tahun yang lalu,” ujarnya.
Besaran BMAD yang ditetapkan —yaitu 100,12% hingga 155% untuk kelompok berkepentingan yang kooperatif dan 199% untuk yang tidak kooperatif— menurutnya mencerminkan keadilan dan keberpihakan pemerintah terhadap keberlanjutan industri keramik nasional.
Dalam kaitan itu, Asaki meyakini BMAD akan segera memulihkan kapasitas produksi keramik nasional dengan tingkat utilisasi akan bisa kembali ke 80% pada tahun ini dan 90% pada 2025.
Terlebih, pabrik keramik nasional – khususnya pabrik yang memproduksi HT– sebelumnya bersaing secara head to head dengan produk impor dari China saat ini hanya mampu bertahan dengan tingkat utilisasi di bawah 40%.
“[Tingkat utilisasi di bawah 40%] karena terdampak berat kerugian akibat praktik dumping tersebut,” ujarnya.
(prc/wdh)