Terlebih, lanjutnya, negara dengan produksi bioetanol yang melimpah seperti Brasil sudah menggencarkan pengembangannya sejak akhir 1980 hingga awal 1990 dengan nama Proalco.
Melalui kebijakan tersebut, Brasil menetapkan 5 keputusan bagi pengembangan bioetanol. Pertama, penggunaan etanol pada BBM harus meningkat secara bertahap setiap tahun.
Kedua, penetapan harga terjangkau bagi konsumen dan bersaing dengan harga bahan bakar fosil. Ketiga, penjaminan harga kompetitif bagi produsen etanol dalam bentuk subsidi.
Keempat, penyediaan kredit dengan berbagai tingkatan untuk pabrik gula dengan tujuan meningkatkan kapasitas produksi.
Kelima, pengurangan pajak kendaraan berbahan bakar etanol, mewajibkan ketersediaan etanol di tiap-tiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) serta memonitor stok etanol untuk memastikan suplai selalu terpenuhi.
“Kesuksesan mereka [juga melalui] pengembangan sistem Program Inti Rakyat dengan sistem kontrak jangka panjang serta mekanisasi pertanian yang signifikan. Sehingga produktivitas kebun tebunya tinggi,” ujar Yayan.
Akan tetapi, kebijakan Proalco ini juga telah menggeser hutan Amazon dan Cerrado dengan kebun tebu.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memastikan bahwa pemerintah memiliki rencana untuk mendorong penggunaan BBN bioetanol untuk mengganti bahan bakar minyak (BBM), meski tidak menyebutkan dengan lengkap apakah itu merupakan Pertalite atau Pertamax.
Menurut Luhut, PT Pertamina (Persero) sedang mengerjakan hal tersebut untuk mendorong rencana pemerintah dalam mengganti bensin menjadi bioetanol.
“Ini [bioetanol] sedang dikerjakan oleh Pertamina. Nah ini kalau semua berjalan dengan baik dari situ kita bisa menghemat [anggaran],” ujar Luhut dalam unggahan di akun Instagram resmi, Selasa (9/7/2024).
(dov/wdh)