Menurut Airlangga, Jokowi mengarahkan agar dilakukannya revisi terhadap Permendag No. 36/2023 yang telah sebelumnya telah direvisi menjadi Permendag No. 3/2024 dan Permendag No. 7/2024 yang pada intinya melakukan pengetatan impor dan persyaratan izin melalui pertek dan beberapa kendala dalam PI.
Adapun, kontainer yang tertahan itu terdiri dari komoditas besi baja, tekstil, produk tekstil, produk kimia, produk elektronik, dan komoditas lainnya yang memerlukan ijin impor dalam melakukan importasi.
Dengan demikian, pemerintah menerbitkan Permendag No.8/2024 denga tujuan memberikan relaksasi perizinan impor pada beberapa komoditas yang terkena pengetanan. sejak 17 Mei 2024.
"Terhadap 7 kelompok barang yang didalam Permendag 36/2023 yang dirubah menjadi Permendag 7/2024 yang diberikan pengetatan impor yaitu elektronik, alas kaki, pakaian jadi, dan aksesoris pakaian jadi, tas tas dan katup. Ini dilakukan relaksasi perijinan impor," ujar Airlangga.
Aturan Berubah-ubah
Tak lama setelah pengesahan tersebut, Kemendag pun angkat bicara perihal revisi yang berulang kali dilakukan dalam waktu berdekatan terhadap kebijakan impor yang mulanya termaktub dalam Pernendag No.36/2023.
Bila diruntutkan, Permendag No. 36/2023 diterbitkan pada 11 Desember 2023. Namun, baru berlaku 90 hari kemudian atau 10 Maret 2024. Imbasnya, sekitar 26.415 kontainer di Tanjung Priok dan Tanjung Perak tertahan selama kurang lebih tiga bulan.
Pemerintah kemudian merevisi aturan impor tersebut melalui Permendag No. 8/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag No. 36/2023 pada 17 Mei 2024.
Wamendag Jerry Sambuaga sendiri beralasan perubahaan aturan itu merupakan hal yang wajar seiring dengan adanya masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan di lapangan. Jerry juga beralasan bahwa utak-atik revisi aturan kebijakan barang impor komoditas tersebut ditujukan untuk melindungi berbagai lini usaha dalam negeri.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kemendag Budi Santoso juga menegaskan bahwa perubahan permendag tersebut ditujukan karena danya kendala perizinan impor melalui pertek.
Budi mengatakan pertek ini merupakan salah satu persyaratan impor untuk beberapa komoditas tertentu yang diusulkan oleh Kemenperin yang dimasukan ke dalam persyaratan impor pada Permendag No,36/2024.
Namun, hal tersebut disebut menjadi kendala lantaran banyaknya kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak yang belum bisa mengajukan dokumen impor karena belum terbitnya PI dan pertek.
"Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka sesuai arahan Bapak Presiden dalam rapat tingkat menteri, perlu dilakukan perubahan atau relaksasi dalam pengaturan impor dalam Permendag No. 8/2024. Dengan tidak mempersyaratkan pertek lagi dalam pengurusan perizinan impornya, sehingga permasalahan kontainer yang menumpuk tersebut dapat diselesaikan," jelas Budi.
Jadi Awal Mula Kian Terpuruknya Industri TPT
Akibat diberlakukannya Permendag No.8/2024 tentang kebijakan dan pengaturan impor, sejumlah industri terlebih khusus TPT angkat bicara ihwal diberlakukannya peraturan tersebut yang dinilai justru jadi membuat buyar harapan pengusaha.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) menilai dalam kebijakan ini, regulasi soal mekanisme arus barang yang terdampak lartas impor direlaksasi, sehingga membuat importasi beberapa komoditas manufaktur —yang berpotensi mengganggu industri serat filamen— menjadi makin mudah masuk ke RI.
Perubahan ini juga justru berujung pada tidak adanya skema pengendalian impor, demi melindungi industri domestik. Hal ini dinilai Apsyfi bertentangan dengan tujuan awal dibentuknya permendag tersebut, yang salah satunya untuk dapat mengurangi jumlah PHK di industri TPT.
"Kalau ini begini lagi ya PHK-nya akan terus-menerus terjadi lagi," tegas Ketua Umum Apsyfi Redma Gita Wiraswatsa.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja juga berpandagan, justru dengan diberlakukannya pertek sebagai syarat untuk mendapatkan PI; produk pakaian jadi, produk-produk tekstil impor, dan aksesori pakaian yang tidak sesuai standar Indonesia tidak bisa sembarangan masuk ke pasar domestik.
"Saya kira [syarat pertek] itu banyak dilakukan oleh berbagai negara sebagai bagian dari pertimbangan teknis. Mungkin yang digembar-gemborkan bahwa bahan baku tekstil itu banyak tertahan di pelabuhan, saya kira itu tidak. Sebab, pertek ini diberlakukan untuk bahan bahan baku industri sudah sejak dahulu," tutur Jemmy.
Mengenai dugaan bahan baku pertekstilan banyak tertahan di pelabuhan akibat kendala pertek, Jemmy mengungkapkan selama ini tidak ada keluhan dari anggota API terkait dengan kesulitan persyaratan dalam mengimpor bahan baku maupun barang penolong.
Lalu, puncaknya badai PHK TPT ini semakin kuat disinyalir terjadi usai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi menjabarkan sepanjang awal tahun sampai dengan 8 Mei 2024, akumulasi pekerja sektor industri TPT yang menjadi korban PHK mencapai 10.800 orang.
"Penyebab terjadinya PHK adalah karena order turun sampai tidak ada order sama sekali, baik ekspor maupun lokal," terangnya awal Juni.
Ristadi mengatakan penyebab industri TPT lokal makin sulit bertahan hingga memutuskan pemangkasan tenaga kerja juga dipengaruhi oleh gempuran produk-produk tekstil, khususnya asal China.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh API yang mengonfirmasi bahwa sepanjang Januari—Mei 2024, korban PHK di industri TPT sudah mencapai hampir 11.000 pekerja, yang diklaimnya meningkat cukup drastis dari periode yang sama tahun lalu.
"Hingga Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri TPT kurang lebih terdapat 10.800 tenaga kerja yang terkena PHK. Hingga kuartal I-2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66,67% [secara year on year/yoy]," terangnya.
Baik API maupun Apsyfi lantas menyatakan bahwa pemerintah tidak melindungi industri dalam negeri dari praktik perdagangan tidak adil, khususnya terhadap efek dumping produk TPT.
Jemmy bahkan mengatakan, selama pemerintah tidak segera membuat mekanisme penghalang banjir produk pertekstilan impor di pasar dalam negeri, gelombang PHK TPT akan sulit dihentikan.
Untuk meredakan badai PHK tersebut, Jemmy menekankan kepada pemerintah untuk menetapkan kebijakan perlindungan pasar dalam negeri.
Salah satunya adalah dengan penerapan secara tarif (tariff barriers) melalui kebijakan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) atau safeguard, dan bea masuk antidumping (BMAD).
Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu memperketat kebijakan hambatan nontarif atau non tariff barriers (NTB) dengan memberlakukan kembali syarat pertek dari Kementerian Perindustrian untuk impor produk TPT.
Kemendag Sangkal Permendag 8 Bermasalah
Enam hari berselang dari pernyataan pengusaha sekaligus dua asosiasi yang menaungi industi TPT ini, Mendag Zulkifli Hasan -Zulhas panggilan akrabnya- melaksanakan rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI untuk membahas soal kondisi industri TPT yang kian terpuruk, hingga menyinggung Permendag No.8/2024.
Namun, dengan tegas Zulhas menegaskan bahwa impor komoditas TPT masih menggunakan pertek dalam peraturan yang mengatur tentang kebijakan dan pengaturan impor ini.
Dengan demikian, Zulhas membantah bahwa badai PHK akibat kinerja sektor TPT yang makin lesu dipicu oleh banjir impor yang makin deras akibat kemudahan aturan yang terdapat dalam permendag tersebut.
"[Impor] tekstil masih [pakai] pertek. Jadi kalau [banyak pabrik] tekstil kita tutup jangan disalahkan Permendag 8; belum tentu. Karena TPT itu masih ada perteknya dari [Kementerian] Perindustrian," papar Zulhas dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis (13/6/2024).
"Kadang-kadang semangat kita tinggi untuk melindungi [industri] kita, tetapi kan teknologi enggak bisa dilawan juga," jelas Zulhas.
Dalam rapat tersebut, Zulhas juga menuturkan bahwa penambahan pertek sebagai persyaratan impor, muncul dari Kemenperin dengan tujuan untuk melindungi industri dalam negeri. Untuk itu, syarat impor berupa pertek tersebut kemudian dimasukkan dalam Permendag No. 36/2023.
"[Pengawasannya dilakukan] dari post border menjadi border, kata [Kementerian] Perindustrian, untuk memperketat [dan] mengendalikan barang-barang [impor], harus ada pertek. Oke saya setuju, lahirlah pertek, saya senang gampang untuk melindungi dalam [UMKM]," kata Zulhas.
Kemenperin 'Serang' Kemendag
Namun, jauh sebelumnya, tiga hari pascaditetapkannya Permendag No. 8/2024, Kemenperin melalui juru bicaranya membantah tuduhan Kemendag yang menyebut perubahan permendag tersebut terjadi karena adanya kendal perizinan impor melalui pertek yang berakibat penumpukan pada kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
"Kemenperin tidak terkait langsung dengan penumpukan kontainer di beberapa pelabuhan tersebut. Sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian Perindustrian sebagai pembina industri dalam negeri, kami memiliki kewajiban untuk memastikan kebutuhan bahan baku industri terpenuhi," ungkap Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif dalam konferensi persnya di Kemenperin, Jakarta, Senin (20/5/2024).
Kemenperin justru mempertanyakan adanya perbedaan data antara jumlah Pertek dan PI yang diterbitkan Kementerian Perdagangan dalam Rapat Koordinasi yang dilakukan secara terbatas pada Kamis (16/5/2024).
Dalam catatan Kemenperin, hingga 17 Mei 2024, otoritas industri ini menerima 3.338 permohonan penerbitan pertek untuk 10 komoditas. Dari seluruh permohonan tersebut, telah diterbitkan 1.755 Pertek, 11 permohonan yang ditolak, dan 1.098 permohonan yang dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi persyaratannya.
Adapun, terkait dengan gelombang PHK industri tekstil, Kemenperin sendiri menyatakan bahwa penerapan Permendag No.8/2024 menyebabkan buntut panjang ditutupnya sejumlah pabrik TPT yang telah merumahkan 11.000 karyawannya.
Penerapan Permendag No.8/2024, menurut mereka menjadi salah satu alasan industri dalam negeri tidak terlindungi dari gempuran barang impor.
Terlebih, sebagai salah satu regulasi yang merelaksasi impor barang-barang dari luar negeri sejenis dengan produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri, hal itu justru membuat optimisme pelaku industri tak terkecuali TPT kian tergerus.
Dalam perkembangan ekspor maupun impor industri TPT dalam rentang 2014 hingga 2023, Kemenperin mencatat puncak kinerja terbaik industri tersebut terjadi pada 2019 dengan kontribusi pertumbuhan terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam negeri sebesar 15,35%.
Namun, sejak 2020 sampai 2024, industri ini kerap kali digempur banyak masalah mulai dari Covid-19, kondisi geopolitik dan ekonomi dunia ketika Rusia menginvasi Ukraina sejak awal 2022, hingga inflasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Tidak hanya itu, diterapkannya Permendag No.8/2024 sejak 17 Mei 2024 juga disebut-sebut Kemenperin menjadi biang banjirnya produk impor TPT dalam negeri. Menurut data Kemenperin, impor mengalami kenaikan sejak Mei 2024 yakni sebesar 194,87 ribu ton, dari 136,36 ribu ton pada April 2024.
Kemenperin melalu Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII RI belum lama ini, bahkan sampai memberikan beberapa upaya langkah mitigasi untuk menyelamatkan sektor industri TPT:
- Aktif mengenakan instrumen tarif barrier dan non tarif barrier bagi perlindungan industri TPT dalam negeri.
- Penegakan dan pemberantasan impor ilegal dan pakaian bekas, pengawasan ketat penjualan melalui platform lokapasar (marketplace) dan sosial media (TikTok Shop, dll).
- Mengembalikan pengaturan dan pengendalian impor kembali ke pengaturan Permendag No. 36/2023 dengan pengendalian impor dengan pemberian kuota.
- Promosi yang intens untuk membuka akses pasar ekspor nontradisional.
- Memperluas cakupan industri dan penambahan anggaran program restrukturisasi mesin/peralatan TPT.
- Penandatanganan dan implementasi IEU-CEPA.
(prc/wdh)