“Kami menilai Asia masih relatif terisolasi dengan baik,” ujar Johanna Chua, Managing Director, Head of Asia-Pacific Economic and Market Analyst di Citibank, seperti dilansir oleh Bloomberg News, akhir pekan lalu.
Moneter lebih longgar
Ekonom menilai, salah satu pendukung mengapa pasar Asia lebih bagus adalah kebijakan moneter mayoritas negara yang lebih lunak dibandingkan Amerika dan Eropa. Sebut saja seperti Australia, Korea Selatan, Indonesia dan India, yang sudah berhenti menaikkan bunga acuan. China, dengan pelonggaran moneter dan pembukaan kembali ekonomi pasca Covid-19 yang sedikit terlambat, menjadi daya tarik utama pasar Asia.
Hal itu tercermin dari aliran dana masuk ke pasar saham di pasar-pasar negara berkembang sebesar US$ 5,5 miliar selama empat pekan hingga akhir Maret lalu, terbesar mengalir ke Asia, menurut catatan TD Securities mengutip data EPFR Global. Lebih dari 70% dari nilai itu mengalir masuk ke China. Pada saat yang sama, pasar saham di negara-negara maju mencatat arus dana keluar (capital outflow) bersih hingga US$ 8,6 miliar dengan pasar saham Amerika tercatat sebagai yang paling terpukul.
“Investor masih melihat pasar emerging Asia sebagai wilayah yang mungkin paling disukai, diikuti oleh Eropa dan mungkin baru kemudian Amerika,” kata David Chao, strategist pasar global untuk Asia-Pasifik di Invesco Asset Management kepada Bloomberg Radio, 4 April lalu. “Bila Anda berpikir Federal Reserve akan berhenti menaikkan bunga, itu akan mendorong arus modal global kembali ke emerging market Asia."
Berakhirnya siklus kenaikan bunga acuan Fed di tengah risiko stabilitas keuangan dan tanda-tanda penurunan permintaan, bisa membantu menurunkan tekanan dolar AS terhadap mata uang Asia dan mengurangi daya tarik the greenback sebagai safe haven.
Asian Development Bank (ADB) pekan ini menyatakan bahwa perekonomian negara berkembang yang dipimpin oleh China berada di jalur pertumbuhan yang lebih cepat dan inflasi yang lebih lambat pada tahun ini dan tahun depan. Sementara negara-negara ekonomi maju justru memberi kontribusi terhadap prospek global yang lebih gelap.
Rebound di China akan menyebar ke seluruh kawasan yang juga akan mendapat manfaat dari diversifikasi rantai pasokan, booming harga komoditas dan pertumbuhan utang yang moderat, jelas Frederic Neumann, Kepala Ekonom Asia HSBC Holdings di Hong Kong.
Citibank memperhitungkan bahwa Hong Kong dan Thailand akan diuntungkan dari reopening China. Sedang perekonomian yang banyak disokong domestik seperti India dan Filipina terlihat relatif lebih tangguh terhadap guncangan pertumbuhan ekonomi global. Perekonomian kecil dan terbuka seperti Singapura, Taiwan, Malaysia, Vietnam dan Korea Selatan, mungkin akan lebih rentan terhadap limpahan tersebut.
Gejolak perbankan juga berarti dana-dana sektor teknologi yang diinvestasikan di Amerika kini dapat mulai kembali. “Di Asia, saya pikir Singapura akan menjadi yang paling diuntungkan,’ kata Prashant Newnaha, Macro Strategist TD Securities. Singapura menurutnya memiliki kerangka hukum dan sektor perbankan yang kuat dan ingin memantapkan diri sebagai pemimpin di sektor teknologi dan kripto di kawasan.
Waspadai risiko
Namun tetap saja ada risiko. Data-data yang suram dari aktivitas pabrik di China belakangan ini meredam kepercayaan pasar terkait kecepatan pemulihan ekonomi negara tersebut. Hubungan China dengan Amerika yang memburuk juga mengerek potensi risiko berinvestasi di tempat-tempat seperti Hong Kong dan Taiwan, menurut Chao dari Invesco.
Selain itu, Asia juga tidak sepenuhnya kebal terhadap ketidakstabilan sektor keuangan yang bersumber dari Amerika. “Prospek sangat bergantung pada apakah keadaan akan menjadi stabil di AS dan Eropa,” kata Jonathan Kearns, Chief Economist Challenger, firma manajemen investasi yang berbasis di Sydney, Australia, dan juga mantan pejabat Reserve Bank of Australia. “Jika ada gejolak sedang berlangsung, itu akan langsung menyebar ke Asia juga.”
- dengan bantuan laporan Swati Pandey dari Bloomberg News
(rui)