Logo Bloomberg Technoz

Penguatan rupiah kali ini juga seolah mengabaikan sentimen ketidakpastian fiskal yang kembali muncul, terkait wacana menaikkan rasio utang oleh pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto nanti.

Sejak pecah pernyataan baru dari penasihat utama Prabowo, Hashim Djojohadikusumo dalam wawancara di media Inggris Kamis lalu, yang kemudian dibantah lagi oleh Ketua Tim Sinkronisasi Sufmi Dasco, pasar keuangan masih tidak bereaksi. Sentimen global lebih berdampak pada aksi investor yang sangat optimistis.

Masih dicermati

Meski demikian, bukan berarti pelaku pasar sama sekali tidak memperhatikan isu fiskal yang kembali muncul tersebut. 

Para analis asing dan domestik menyoroti beberapa hal yang perlu dicermati pasar.

"Tim Prabowo yang baru akan berupaya keras untuk menghilangan persepsi bahwa pemerintahan baru kelak tidak akan bersikap hati-hati. Bahwa keuangan Indonesia akan tetap prudent dengan risiko utang terhadap PDB yang lebih tinggi. Bagi saya Indonesia masih merupakan titik terang di kawasan Asia seiring dengan membaiknya ekonomi global," kata Saktiandi Supaat, Head of Research Malayan Banking Bhd di Singapura, seperti dilansir oleh Bloomberg News.

Namun, menurutnya, reli rupiah saat ini kemungkinan tidak akan bertahan lama terutama bila ekspektasi penurunan bunga The Fed gagal terealisasi. Ditambah ancaman baru dari inflasi harga pangan global serta risiko dari tarif baru perdagangan Amerika. Supaat memperkirakan rupiah bisa menjebol Rp16.600/US$ pada September nanti.

Analis Toronto Dominion (TD) Bank di Singapura juga menilai, Prabowo perlu lebih banyak mengambil langkah untuk meyakinkan pasar tentang rencana fiskalnya.

"Investor mungkin tidak yakin dengan perubahan haluan tersebut. Ketidakpastian mengenai rencana fiskal akan membebani pikiran investor dalam beberapa bulan mendatang," komentar Alex Loo, Strategist di TD yang memperkirakan nilai rupiah akan tertahan di Rp16.350/US$ pada akhir kuartal ini.

Simpang siur informasi di mana saling bantah terjadi di internal tim di belakang Prabowo, pada akhirnya memaksa pasar bersiap-siap dengan asumsi bahwa rencana mengerek rasio utang ke 50% itu adalah kebijakan resmi pemerintahan baru kelak.

"Walaupun rencana tersebut dibantah oleh Satgas Sinkronisasi [Sufmi Dasco], pernyataan [Hashim] itu kami anggap sebagai sikap resmi pemerintah terpilih mulai 2026 setelah revisi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara di 2025. Kami memprediksi defisit fiskal 2026-2029 akan mencapai -4% hingga -5% terhadap PDB per tahun," kata Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Prayadi.

Sebelumnya, penasihat utama Prabowo yang juga adik kandungnya yaitu Hashim Djojohadikusumo dalam wawancara dengan media Inggris Financial Times mengonfirmasi adanya rencana pemerintahan mendatang untuk mengerek rasio utang Indonesia hingga 50% dari PDB. Langkah itu akan ditempuh bersamaan dengan rencana mengerek penerimaan pajak untuk membiayai belanja negara.

Hashim menyatakan, Prabowo mengizinkan kenaikan rasio utang itu agar belanja program ambisius seperti makan bergizi gratis yang menjadi andalan kampanye, bisa dibiayai. Namun, rencana kenaikan rasio utang itu diberikan dengan syarat pemerintah bisa mengerek pendapatan pajak.

Pernyataan itu keluar bahkan setelah Thomas Djiwandono, Anggota Satgas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran telah memberikan bantahan pada akhir Juni lalu. Statement Hashim itu juga akhirnya dimentahkan lagi oleh Ketua Tim Sinkronisasi Prabowo-Gibran Sufmi Dasco Ahmad.

Menurut dia, wacana yang disampaikan Adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo dalam wawancara dengan  tersebut memiliki maksud bahwa pemerintah ke depan tidak akan menaikkan utang tanpa menaikkan pendapatan negara. "Pemerintah tetap teguh pada komitmennya terhadap pengelolaan fiskal yang berkelanjutan dan hati-hati," kata Dasco dalam keterangan resminya, Kamis (11/7/2024).

(rui)

No more pages