Berdasarkan draf RUU Wantimpres, DPR memang akan membentuk lembaga negara baru yang memiliki susunan organisasi dipimpin oleh satu orang ketua merangkap anggota. Ketua DPA ini akan memimpin beberapa anggota yang jumlahnya tergantung kebutuhan atau keputusan presiden yang tengah menjabat.
Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti berpandangan, RUU Wantimpres menjadi DPA mengindikasikan adanya upaya bagi-bagi jatah jabatan yang tidak sehat dalam pemerintahan Prabowo Subianto mendatang.
Bivitri menilai gelagat rencana perubahan Wantimpres menjadi DPA ini sudah ada sejak kemunculan isu presidential club yang digagas Prabowo pada awal Mei lalu. Dalam klub tersebut, nantinya para mantan presiden Indonesia akan saling berdiskusi dan bertukar pikiran untuk menjaga silaturahmi dan menjadi teladan.
“Dia akan menjinakkan kekuatan-kekuatan yang harusnya bisa jadi penyeimbang. Diduga kuat, di situ akan ditaruh Jokowi, Megawati. Mungkin juga orang-orang yang sudah berjasa, dianggap senior nggak bisa masuk jadi tim menteri, dimasukin di situ,” ucap Bivitri.
Tak sampai di situ, Bivitri menerangkan, membentuk DPA di tengah kondisi saat ini merupakan langkah yang tidak efisien karena membuat suatu lembaga dengan konsekuensi hukum administrasi, fasilitas, hingga protokolnya akan jadi lebih tinggi.
Selain itu, konsep DPA juga problematik, sementara untuk melaksanakan program-program presiden sudah banyak yang membantu, mulai dari menteri, wakil menteri, hingga kantor staf presiden.
“Dalam konteks hukum administrasi negara, DPA merugikan, enggak ada gunanya tapi dia dibuat formal dan dibuat dengan fasilitas yang luxurious,” ucap dia.
Dalam rencana revisi, DPR rencananya akan mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA. Rencana ini dikaitkan dengan kepentingan dan kebutuhan Presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto.
Badan Legislasi atau Baleg DPR memastikan DPA akan memiliki fungsi yang sama dengan Wantimpres yaitu memberikan nasihat dan pertimbagan kepada presiden. Secara kelembagaan, DPA juga tetap berada di bawah presiden dan bisa diawasi oleh DPR.
Meski demikian revisi UU Wantimpres akan memberikan keleluasaan kepada presiden menjabat. Rencananya, seperti RUU Kementerian Negara, presiden terpilih akan bebas menentukan jumlah anggota DPA. Padahal, saat ini UU Wantimpres membatasi jumlah anggotanya maksimal delapan orang.
DPR mengklaim tak adanya aturan soal jumlah DPA akan mempermudah presiden untuk menyesuaikan kebutuhannya dalam pemerintahan. Akan tetapi, hal ini justru semakin menyoroti potensi gemuknya pemerintahan mendatang dalam kaitan upaya membagi jabatan bagi banyak kelompok.
(mfd/frg)