Sebagai catatan, sepanjang 2023, GIAA mencatatkan pendapatan usaha konsolidasi tercatat sebesar US$2,94 miliar. Ini naik 40% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu US$2,1 miliar.
Meski begitu, perseroan masih mencatatkan rugi bersih sebesar US$250 juta. Namun, rugi isi susut cukup dalam dibandingkan 2022 yang sebesar US$3,73 miliar.
Total ekuitas perusahaan juga masih mencatatkan negatif US$1,28 miliar, meski turun dari periode yang sama tahun sebelumnya di US$1,53 miliar.
Diberitakan sebelumnya, Luhut memaparkan salah satu evaluasi yang akan dilakukannya sebagai langkah untuk untuk efisiensi penerbangan dan penurunan harga tiket pesawat yakni, evaluasi operasi biaya pesawat dengan mempertimbangkan cost per block hour (CBH).
"CBH yang merupakan komponen biaya operasi pesawat terbesar, perlu diidentifikasi perincian pembentukannya. Kita juga merumuskan strategi untuk mengurangi nilai CBH tersebut, berdasarkan jenis pesawat dan layanan penerbangan," jelas Luhut dalam keterangannya di akun Instagramnya @luhut.pandjaitan.
Selain itu, Luhut mengatakan mekanisme pengenaan tarif berdasarkan sektor rute juga akan menjadi bahan pertimbangan pemerintah. Apalagi, pengaturan ini berdampak pada pengenaan dua kali tarif pajak pertambahan nilai (PPN), iuran wajib jasa raharja (IWJR), dan passenger service charge (PSC) bagi penumpang yang melakukan transfer atau ganti pesawat.
Untuk itu, mekanisme perhitungan tarif perlu disesuaikan berdasarkan biaya operasional maskapai per jam terbang, yang diharapkan dapat mengurangi beban biaya pada tiket penerbangan.
Di sisi lain, Luhut menekankan pentingnya evaluasi peran kargo terhadap pendapatan perusahaan penerbangan, yang seringkali luput dari perhatian, yang bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan harga Tarif Batas Atas maskapai.
Pemerintah, jelasnya, juga akan mengkaji peluang insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk beberapa destinasi prioritas.
Pemerintah bahkan juga berencana untuk mengakselerasi kebijakan pembebasan bea masuk dan pembukaan lartas barang impor tertentu yang diperlukan untuk kebutuhan penerbangan, mengingat porsi perawatan pesawat mencapai 16% dari keseluruhan biaya setelah avtur.
"Terhitung sejak rapat ini dilakukan, seluruh langkah tersebut di atas selanjutnya akan dikomandoi langsung oleh Komite Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional. Mereka akan mengevaluasi secara detail harga tiket pesawat setiap bulannya," ungkap Luhut.
(prc/wdh)