Bulan lalu, hakim-hakim Italia memerintahkan anak perusahaan Dior, Armani, dan Alviero Martini Spa, pembuat mode mewah lainnya yang dikenal dengan tas bermotif peta dan barang-barang lainnya, untuk ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan setelah memutuskan bahwa unit manufaktur mereka memperlakukan pekerja migran secara tidak layak.
The Post telah mencari komentar dari Dior, Armani, dan Alviero Martini.
Armani mengalihdayakan manufaktur produknya ke GA Operations, sebuah perusahaan produksi internal.
Sebagai tanggapan terhadap penggerebekan, rumah mode tersebut membantah adanya kesalahan oleh GA Operations, yang memproduksi pakaian, aksesori, dan dekorasi rumah untuk merek-merek di bawah Giorgio Armani Group.
"Perusahaan selalu memiliki langkah-langkah pengendalian dan pencegahan untuk meminimalkan penyalahgunaan dalam rantai pasokan," kata pernyataan Armani.
"GA Operations akan berkolaborasi dengan transparansi penuh dengan badan-badan yang berwenang untuk memperjelas posisinya dalam masalah ini," tambahnya.
Selain dua brand tersebut, nama-nama besar di dunia fashion seperti Zara, Prada, Adidas, Nike dan Celine juga pernah terkena persoalan yang sama.
Zara saat itu dituding mengeksploitasi buruh di Bravo Tekstil, perusahaan yang membuat produk fashion tersebut. Sampai muncul kampanye BravolscilerilcinAdalet yang berarti Keadilan bagi buruh Bravo. Petisi tersebut sudah ditandatangani lebih dari 270 orang.
Perusahaan induk Zara menyatakan sudah membayar seluruh kewajiban terhadap Bravo Tekstil. Namun, uang tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya untuk membayar karyawan.
Sisi lain, Prada juga tidak luput dari kasus eksploitasi buruh. Dilansir dari The Guradian, ada survey yang menganalisis bisnis dan investasi perusahaan-perusahaan di dunia, menempatkan Prada sebagai perusahaan yang tidak ramah buruh karena memberi upah terlalu rendah.
(spt)