Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyoroti rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi Undang-undang nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (UU Wantimpres). Partai berlambang kepala banteng ini khawatir pembentukan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai ganti wantimpres justru menjadi cara bagi-bagi jabatan pada pemerintahan Presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto. 

"Biarkan itu nanti masyarakat kita semua yang menilai, apakah ini bagi-bagi jabatan. [jumlah ] Kementerian dari 34 jadi terserah. Pengisian Wantimpres juga [jumlahnya bebas],” kata Djarot di Kompleks Parlemen, Kamis (11/7/2024). 

“Dan ini berbahaya kalau seumpama memang betul itu digunakan untuk bagi-bagi jabatan dan tidak dilakukan secara merit sistem meritokrasi.”

Anggota Komisi IV DPR  itu mengakui revisi UU Wantimpres di DPR dilakukan secepat kilat. Kendati demikian, dia memastikan tidak ada upaya menghidupkan kembali DPA sebagai pengganti Wantimpres. 

Menurut Djarot, jika ada upaya menghidupkan kembali DPA, maka yang pertama perlu dilakukan adalah mengamendemen UUD 1945. 

"Saya ditugaskan di Badan Pengkajian MPR itu belum pernah membahas amandemen terkait dengan keberadaan DPA ini. Dewan Pertimbangan Agung yang sesuai dengan jiwa dan semangat UUD yang asli lho ya," tutur Djarot.

Badan Legislasi atau Baleg DPR memastikan DPA akan memiliki fungsi yang sama dengan Wantimpres yaitu memberikan nasihat dan pertimbagan kepada presiden. Secara kelembagaan, DPA juga tetap berada di bawah presiden dan bisa diawasi oleh DPR.

Meski demikian revisi UU Wantimpres akan memberikan keleluasaan kepada presiden menjabat. Rencananya, seperti RUU Kementerian Negara, presiden terpilih akan bebas menentukan jumlah anggota DPA. Padahal, saat ini UU Wantimpres membatasi jumlah anggotanya maksimal delapan orang.

DPR mengklaim tak adanya aturan soal jumlah DPA akan mempermudah presiden untuk menyesuaikan kebutuhannya dalam pemerintahan. Akan tetapi, hal ini justru semakin menyoroti potensi gemuknya pemerintahan mendatang dalam kaitan upaya membagi jabatan bagi banyak kelompok.

Sebelumnya, Megawati Soekarnoputri ketika menjadi presiden, mengapuskan DPA usai MPR melakukan amendemen ke-4 pada UUD 1945. Megawati saat itu mengeluarkan surat Keputusan Presiden pada Juli 2003. DPA dianggap tak tepat karena pemerintahan diubah menjadi sistem parlementer.

DPA sendiri adalah lembaga negara yang berkedudukan di bawah MPR. Ketika itu, DPA berarti setara dengan presiden, wakil presiden, DPR, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. DPA diganti dengan Watimpres yang posisinya di bawah presiden.

Isu kebangkitan DPA mencuat usai Prabowo berulang kali ingin menggandeng para pendahulunya ke dalam pemerintahan mendatang. Ide ini awalnya bernama Presidential Club yang kemudian mengarah pada kelembagaan serupa DPA.

(mfd)

No more pages