Militer AS jarang mengumumkan pergerakan kapal selam nuklirnya. Pada Oktober lalu, Komando Pusat AS (Centcom) mengumumkan kunjungan komandannya Jenderal Michael Kurilla ke kapal selam rudal balistik di Laut Arab. Sebelumnya satu kapal selam lainnya transit di Selat Hormuz di akhir Desember 2020.
Langkah terkini AS tersebut dilakukan setelah terjadi peningkatan serangan ke pasukan AS dan sekutunya di Irak dan Suriah baru-baru ini.
Para komandan AS juga memperingkatkan peningkatan kemampuan daya jelajah rudal dan kegiatan pengayaan nuklir Iran serta ancaman besar dari negara itu pada kepentingan AS dan sekutunya.
Pengerahan ini juga terjadi setelah ada peningkatan perang bayangan Israel dengan Iran dan perubahan besar geopolitik di Timur Tengah.
Arab Saudi yang khawatir situasi di kawasan bisa berdampak negatif pada rencana besar pereknomiannya kini mulai mencoba bekerja sama dengan Iran dan mulai memperat hubungan dengan China.
Selain itu, negara yang merupakan eksportir minyak terbesar di dunia itu juga mulai membangun aliansi dengan Moskow terutama pada kebijakan minyak, sementara AS dan sekutu Baratnya melanjutkan langkah mengisolasi dan memperlemah Rusia setelah melakukan invasi ke Ukraina tahun lalu.
Disaat USS FLorida bergerak menuju Timur Tengah, pada Jumat (7/4) Israel kembali mengebom beberapa lokasi di Jalur Gaza yang disebutnya milik kelompok Hamas.
Kelompok yang didukung penuh oleh Iran ini menyatakan bertanggung jawab atas serangkaian serangan roket ke wilayah utara Israel sehari sebelumnya. Serangan itu dilakukan dari Lebanon yang didominasi oleh Hizbullah yang juga didukung Iran.
Rangkaian serangan paling baru ini dipicu oleh pertikaian antara polisi Irael dan umat Islam di masjid Al-Aqsa di Yerusalem.
Sehari sebelumnya, Pasukan Penjaga Revolusi Iran berjanji untuk membalas kematian dua komandan mereka di Suriah akibat serangan udara yang dituduh dilakukan oleh Israel. Pada Maret 23 lalu, satu pesawat tanpa awak buatan Iran dikerahkan oleh kelompok besutan pasukan Iran menyerang fasilitas militer AS di Hasakah, Suriah utara, menewaskan seorang pekerja kontraktor AS dan melukai lima tentara negara itu.
Pentagon mengatakan serangan itu dibalas dengan sejumlah serangan udara.
AS menempatkan sekitar 900 tentara di Suriah utara yang dikuasai oleh milisi pimpinan aliansi Kurdi yang menjadi mayoritas kelompok militer pimpinan AS yang berupaya mengalahkan kelompok Negara Islam atau ISIS.
Suriah secara de fakto terpecah. Presiden Bashar Al-Assad menguasai sebagian besar wilayah negara itu dengan dibantu oleh Iran, kelompok-kelompok milisi dan miltier Rusia, sementara Turki dan sejumlah kelompok pemberontak menguasi sebagian wilayah utara dan barat laut.
"Perilaku buruk Iran telah meningkat dalam dua tahun ini," kata Jenderal Kurilla, dalam dengar pendapat di Komite Militer Senat AS bulan lalu.
Kurilla mengatakan "Iran tahun 2023 bukan lah Iran tahun 1983," menyebut Tehran "memiliki kemampuan berlipat ganda" untuk menyerang wilayah mana pun di Timur Tengah dengan "senjata rudal paling banyak dan lengkap" di kawasan.
Secara resmi AS menyambut "dampak menenangkan" dari perbaikan hubungan Arab Saudi - Iran di kawasan, namun di balik layar negara itu disebut kaget dengan keputusan Riyadh mengajak China sebagai penjamin dan mengikutsertakan Assad yang merupakan sekutu Arab terkuat bagi Iran. Pemerintah Suriah pimpinan Assad dijatuhi serangkaian sanksi oleh AS akibat dugaan kejahatan perang.
Kekhawatiran AS lainnya adalah keputusan Arab Saudi bergabung sebagai "mitra dialog" Organisasi Kerja Sama Shanghai, satu blok keamanan dan pertahanan besutan China yang anggotanya antara lain termausk Iran dan Rusia.
Sanam Vakil, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara Chatham House, mengatakan tidak ada hal yang bertolak belakang antara Iran berupaya memperbaiki hubungan dengan Arab Saudi dan negara kuat Teluk Arab lainnya, dan di saat bersamaan meningkatkan perang terselubung dengan AS dan Israel.
"Itu memang sudah menjadi strategi Iran," ujarnya.
Vakil mengatakan saat ini memang ada "perasaan jumawa" di Teheran ketika banyak kubu di pemerintah merasa di atas angin karena negara ini tidak hanya berhasil mengatasi kebijakan AS berupa "pengepungan dan tekanan maksimum", tetapi juga berhasil mengoyak aliansi AS-Arab Saudi yang merupakan sekutu utama AS di Arab.
"Ini membuktikan tujuan jangka panjang Iran untuk mengusir AS dari kawasan," katanya.
(bbn)