Bloomberg Technoz, Jakarta - Indonesia dinilai masih diadang sederet masalah yang menghambat upaya pemerintah menarik investasi mineral kristis dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya. Salah satunya berkaitan dengan standar environmental, social and governance (ESG).
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan, berbeda dengan pemodal China, investor Barat lebih menekankan penerapan standar ESG dan standar lainnya. Sementara itu, saat ini belum semua perusahaan tambang di Indonesia yang menerapkan standar tersebut.
“Saat ini belum semua perusahaan tambang di Indonesia yang menerapkan standar tersebut. Hanya perusahaan besar dan terafiliasi dengan investor Barat saja yang sudah menerapkan standar tersebut,” ujar Rizal kepada Bloomberg Technoz, Kamis (11/7/2024).
Alasan kedua yang membuat terhambatnya investasi dari AS dan negara Barat lainnya adalah perizinan dan birokrasi yang belum efisien di Indonesia.
Untuk mengusahakan penambangan mineral di Indonesia, kata Rizal, penambang harus mengurus ratusan perizinan dari berbagai instansi dan lembaga. Dengan demikian, dibutuhkan sumber daya, waktu dan dana untuk perizinan tersebut.
Masalah lainnya, belum semua mineral kritis dan strategis ada di Indonesia. Adapun, Indonesia tidak memiliki sumber daya dan cadangan litium dan cadangan mineral tanah jarang (LTJ) atau rare earth element.
“Beberapa mineral kritis kita saat ini memang leading secara global seperti nikel, timah, bauksit, tembaga. [Namun,] pemerintah harus lebih menggencarkan kegiatan eksplorasi mineral kritis dan strategis agar bisa berperan secara global,” ujarnya.
Sekadar catatan, Indonesia dengan AS sebenarnya sudah menyepakati akan membentuk rencana kerja untuk mewujudkan Critical Mineral Agreement (CMA), yang akan membuat Indonesia menjadi pemasok kebutuhan baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di AS dalam jangka panjang. Keputusan itu disepakati oleh kedua pemimpin negara pada akhir tahun lalu.
Hingga saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan kerja sama masih berlanjut karena merupakan urusan yang panjang dan membutuhkan kolaborasi dari beberapa negara untuk menciptakan rantai pasok (supply chain).
“Untuk jadi baterai, tidak ada yang semua mineralnya ada di satu negara, itu pasti butuh kolaborasi beberapa negara, jadi lebih ke bagaimana kolaborasi supply chain,” ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi saat ditemui di kantornya, dikutip Kamis (11/7/2024).
Namun, di lain sisi, Indonesia juga baru saja ditinggalkan oleh kedua investor asal Eropa, BASF SE dan Eramet SA, dalam proyek Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara.
“Eramet dan BASF memutuskan untuk tidak berinvestasi pada pabrik penyulingan nikel dan kobalt bersama di Indonesia,” ujar Eramet dalam pernyataan resmi.
(dov/wdh)